twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Selasa, 28 Agustus 2012

PERIZINAN (CATATAN KUL D STH GARUT)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan pemerintahan saat ini bukan lagi semata-mata menjadi tanggung jawab pemerintah, melainkan seluruh aktor dalam sebuah negara. Meskipun demikian, peran pemerintah tentunya masih sangat dibutuhkan terkait dengan penyediaan pelayanan publik. Pada dasarnya, pelayanan publik mencakup tiga aspek, yaitu pelayanan barang, jasa, dan administratif. Wujud pelayanan administratif adalah layanan berbagai perizinan, baik yang bersifat nonperizinan maupun perizinan. Perizinan merupakan salah satu aspek penting dalam pelayanan publik, demikian juga perizinan yang terkait dengan kegiatan usaha. Proses perizinan, khususnya perizinan usaha, secara langsung akan berpengaruh terhadap keinginan dan keputusan calon pengusaha maupun investor untuk menanamkan modalnya. Demikan pula sebaliknya, jika proses perizinan tidak efisien, berbelit-belit, dan tidak transparan baik dalam hal waktu, biaya, maupun prosedur akan berdampak terhadap menurunnya keinginan orang untuk mengurus perizinan usaha, dan mereka mencari tempat investasi lain yang prosesnya lebih jelas dan transparan. Hal ini tentu saja selanjutnya akan berdampak terhadap ketersediaan lapangan kerja dan masalah-masalah ketenagakerjaan lainnya. Penerapan otonomi daerah memberikan ruang yang cukup besar bagi daerah untuk mengatur dan mengurus pelayanan publiknya, termasuk dalam hal perizinan. Implikasinya, sebagian daerah menggunakan kesempatan ini untuk melakukan inovasi demi menarik investor, namun sebagian lain justru menggunakannya untuk menarik retribusi sebesar mungkin dari proses perizinan yang diterapkan, semata-mata demi meningkatkan penerimaan pendapatan daerah setempat (PAD). Pada era otonomi daerah yang telah menginjak satu dasawarsa, banyak daerah otonomi yang cukup berhasil membangun daerahnya yang diawali dengan pemberian layanan perizinan investasi yang mudah dan murah. Dengan tujuan untuk menarik investor, upaya pembangunan daerah dilakukan dengan menciptakan multiplier effects dari penanaman investasi di daerah yang bersangkutan. Investasi yang masuk menjadi salah satu driving forces dalam percepatan pembangunan daerah. Tulisan ini mengekplorasi penerapan best practice pelayanan perizinan usaha yang dilakukan oleh daerah serta dampak yang ditimbulkan bagi percepatan pembangunan daerah. Daerah memiliki inovasi yang berbeda dan karakteristik berpengaruh terhadap berhasil atau tidaknya pelaksanaan sistem perizinan yang dibangun. Secara umum, dapat dinilai sebagai daerah yang paling berhasil di antara dua lainnya, baik dalam hal system perizinan maupun dampaknya terhadap pembangunan daerah.Analisis yang dilakukan tidak hanya terkait dengan dampak langsung dari perizinan yang biasa dilakukan secara kuantitatif, tetapi juga menyentuh aspek politik, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat setempat yang turut berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan sistem perizinan. Gambaran tipologi pelayanan perizinan yang ditemukan dalam penelitian ini turut memberikan perspektif baru bagi masyarakat luas. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi referensi bagi semua stakeholder untuk mengapresiasi penyelenggaraan pelayanan perizinan sebagai instrumen pembangunan daerah. Rekonstruksi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia mengalami perubahan yang signifikan pasca-terselenggaranya otonomi daerah. Instrumen desentralisasi turut mengubah pengelolaan sumber daya lokal sebagai bentuk pendelegasian wewenang dari pusat pada daerah otonom untuk lebih mandiri. Pelayanan pendukung dari aktivitas usaha seperti izin usaha, kepastian hukum, dan iklim usaha yang kondusif pun peranannya tidak lagi terfragmentasi pada pemerintah pusat semata. Pemerintah daerah kini diharapkan menjadi aktor lokal dalam menciptakan sistem perizinan yang mendukung mekanisme kegiatan usaha dan pengelolaan sumber daya daerah bagi kemaslahatan masyarakat lokal. Setelah sebelas tahun kebijakan desentralisasi bergulir sebagai wahana perubahan bagi daerah, gradasi tingkat kesejahteraan dan efektivitas pelayanan di daerah otonomi masih belum merata. Tujuan otonomi daerah yang diharapkan mampu menjadi katalis dalam mendekatkan pelayanan kepada masyarakat lokal tidak tercipta secara komprehensif, justru cenderung berjalan parsial (tidak sama di setiap tempat). Indikasi ini antara lain terlihat dari ketidaksiapan beberapa pemerintah daerah untuk menciptakan mekanisme pelayanan perizinan usaha sebagai gerbang utama penyelenggaraan kegiatan usaha di daerah. Alhasil, tidak responsifnya pemda untuk menciptakan pelayanan perizinan yang akuntabel dan responsif saat ini menjadi penghambat utama dalam melakukan pengelolaan sumber daya daerah. Gambaran ini setidaknya tercermin dari hasil survei yang dilakukan oleh Komite Pengawas Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) pada tahun 2006 di mana penyelenggaraan pelayanan perizinan di daerah masih jauh dari harapan ideal. Identifikasi ini terlihat dari segi waktu yang belum ideal dan biaya tidak resmi yang semakin besar dalam proses berinvestasi. Berdasarkan uraian di atas, penulis melakukan penelitian yang berjudul “ REFORMASI DI BIDANG PERIZINAN DALAM RANGKA OTONOMI DAERAH di KABUPATEN GARUT ” B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat merumuskan masalah penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana penyelenggaraan layanan perizinan usaha di daerah setelah diterapkannya otonomi daerah? 2. Bagaimana penerapan best practice dalam layanan perizinan usaha pada era otonomi daerah? 3. Bagaimana pengaruh penerapan best practice layanan perizinan usaha terhadap terciptanya multiplier effect yang mendukung percepatan pembangunan daerah? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1. Penyelenggaraan layanan perizinan usaha di daerah setelah diterapkannya otonomi daerah 2. Penerapan best practice dalam layanan perizinan usaha pada era otonomi daerah 3. Pengaruh penerapan best practice layanan perizinan usaha terhadap terciptanya multiplier effect yang mendukung percepatan pembangunan daerah D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis Hasil penelitian ini dapat menambah literatur mengenai konsep tata penyelenggaraan sistem pelayanan publik khususnya bidang pelayanan perijinan investasi di era reformasi dan otonomi daerah yang merupakan salah satu kajian utama dalam ilmu pemerintahan saat ini. 2. Secara Praktis a. Bagi penulis Dapat menambah ilmu, pengetahuan, wawasan serta pengalaman dalam menerapkan teori-teori tentang sistem penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik yang selama ini diperoleh melalui bangku perkuliahan ke dalam kehidupan nyata. b. Bagi Kabupaten Garut Dapat menjadi salah satu referensi dalam merumuskan kebijaksanaan yang terkait dengan peningkatan kualitas layanan publik khususnya dibidang perijinan investasi daerah. E. Kerangka Teori Menurut Kotler dan Sampara Lukman, pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik. Selanjutnya Sampara berpendapat pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung seseorang dengan orang lain dalam menyediakan kepuasan pelanggan. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993 yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan Menteri Aparatur Negera Nomor 63 Tahun 2003 mendefinisikan pelayanan umum sebagai berikut : ”Segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, Daerah dan lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Merujuk pada kutipan di atas, pelayanan publik atau pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, Daerah dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB II PEMBAHASAN Perbaikan pelayanan perizinan sejatinya dilakukan secara komprehensif. Salah satu aspek fundamental dari legitimasi pelayanan perizinan usaha adalah adanya aturan main yang dibuat oleh institusi pemerintah, baik pusat maupun daerah. Sebelum adanya otonomi daerah, pemerintah pusatlah yang intens dalam mengeluarkan paket kebijakan investasi bagi para investor yang menanamkan modalnya di Indonesia. Selain untuk keseragaman aturan main, paket kebijakan juga memiliki banyak kelebihan karena satu peraturan dengan peraturan lainnya sudah diintegrasikan. Strategi ini cukup berhasil melihat dampak dan respons dari para pelaku usaha yang positif. Bagian ini mencoba menggambarkan beberapa ilustrasi paket kebijakan kegiatan investasi sebelum era otonomi daerah. A. Penyelenggaraan layanan perizinan usaha di daerah setelah diterapkannya otonomi daerah - Peraturan Perizinan Sebelum Otonomi Daerah Paket Deregulasi Tahun 1993 (Pakto 1993) dan Tahun 1994 Keluarnya Paket deregulasi 23 Oktober tahun 1993 tidak lepas dari paham neoliberalisme, terutama dari aspek keuangan dan ekonomi pada tahun 1980-an. Sejak saat itu, munculah berbagai paket kebijakan deregulasi di bidang investasi. Pembuatan paket tahun 1993 pada prinsipnya merupakan aturan yang dibuat untuk memudahkan investor asing menanamkan modalnya di Indonesia. Insentif lain dari paket kebijakan Pakto tahun 1993 adalah penghapusan berbagai surat dan persetujuan. Secara umum, kebijakan ini mengatur lima bidang usaha, yaitu: a. Bidang ekspor; b. Bidang penanaman modal asing; c. Bidang perizinan untuk investasi; d. Bidang Kesehatan; dan e. Bidang penyederhaaan prosedur Amdal. Perkembangan mengenai paket kebijakan investasi kemudian dilanjutkan satu tahun berikutnya (1994). Pemerintah memperbarui paket kebijakan investasi untuk lebih menarik investor masuk ke Indonesia. Salah satu insentif yang diberikan pemerintah dari PP No.20 Tahun 1994 di mana kepemilikan modal asing diperbolehkan hingga 95-100%, termasuk penguasaan atas sarana hidup orang banyak seperti pelabuhan, tenaga listrik, kereta api, pembangkit tenaga nuklir, dan media massa. Beberapa hal yang penting sehubungan dengan dikeluarkannya deregulasi tersebut, yaitu: 􀂃Penanaman modal asing dapat dilakukan dalam bentuk: a. Usaha patungan antara modal asing dan modal modal dalam negeri atau badan hokum Indonesia, dengan ketentuan peserta Indonesia harus memiliki paling sedikit 5% dari jumlah modal disetor sejak pendirian perusahaan PMA; b. Atau investasi langsung dalam arti seluruh modalnya dimiliki oleh warga negara dan atau badan hukum asing, dengan ketentuan dalam waktu paling lama 15 tahun sejak produksi komersil sebagian saham asing harus dijual kepada warga negara dan/atau badan hukum Indonesia melalui pemilikan langsung berdasarkan kesepakatan masing-masing pihak dan/atau melalui pasar modal. Dengan demikian, persyaratan pemilikan saham lokal mayoritas yang berlaku sebelum deregulasi telah dihapus. 􀂃 Ketentuan investasi minimum bagi bagi PMA ditiadakan. Jumlah investasi yang ditanamkan dalam rangka PMA diterapkan berdasarkan kelayakan ekonomi kegiatan usahanya; 􀂃 Perusahaan PMA yang sudah berproduksi komersil dapat mendirikan perusahaan baru dan/atau membeli saham perusahaan yang didirikan berdasarkan PMDN dan/atau bukan PMDN melalui pemilikan langsung, sepanjang bidang usaha dari perusahaan yang sahamnya dibeli tersebut dinyatakan terbuka bagi PMA; 􀂃 Kegiatan usaha PMA dapat berlokasi diseluruh Indonesia, namun bagi daerah yang telah memiliki Kawasan Berikat (Kawasan Industri, lokasi kegiatan PMA tersebut diutamakan didalam kawasan tersebut); dan 􀂃 Izin usaha PMA berlaku untuk jangka 30 tahun dihitung sejak produksi komersil, dan dapat diperpanjang bila perusahaan yang dimaksud masih tetap menjalankan usahanya yang bermanfaat bagi perekonomian dan pembangunan nasional. - Peraturan Perizinan Setelah Otonomi Daerah Otonomi daerah sejatinya mendekatkan penyelenggaraan pelayanan publik kepada masyarakat. Dalam bidang perizinan, pendelegasian otoritas kewenangan sebenarnya juga telah diatur dalam peraturan otonomi daerah. Berdasarkan Keppres No.117/1999, keterlibatan daerah dalam bidang penanaman modal, khususnya pelayanan perizinan yaitu penerbitan Izin Lokasi, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), dan Izin Gangguan (HO). Izin-izin ini sebenarnya diperlukan oleh pemilik modal (investor) yang akan melakukan kegiatan usaha di daerah. Nantinya, setelah izin-izin selesai dibuat, maka investor akan mendapatkan Izin Usaha Tetap. B. Penerapan best practice dalam layanan perizinan usaha pada era otonomi daerah Perihal kewenangan daerah di bidang penanaman modal ditegaskan kemudian dalam UU No.32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah bahwa lingkup kewenangan daerah di bidang penanaman modal adalah dalam penyelenggaraaan pelayanan administrasi penananaman modal. Tidak ada penjelasan detail tentang ketentuan tersebut, demikian pula belum ada kebijakan turunan untuk menjabarkan ketentuan dimaksud. Namun demikian, penggunaan istilah “administrasi” tampaknya merupakan pembatasan terhadap kewenangan daerah di bidang penanaman modal. Dengan pembatasan kewenangan ini, daerah tidak lagi memiliki kewenangan terkait dengan pengambilan keputusan strategik seperti pemberian izin persetujuan penanaman modal, izin pelaksanaan, dan fasilitas penanaman modal. Dengan demikian, berdasarkan UU No.32/2004 Pemerintah Pusat dapat mengembalikan kewenangan daerah di bidang penanaman modal pada kondisi sebelum ditetapkannya UU No.22/1999, yakni kewenangan dalam pemberian perizinan: Izin Lokasi, Izin Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pengelolaan, IMB, dan Izin UUG/HO. a. Keputusan Presiden No.29 Tahun 2004 Keluarnya Keppres ini merupakan bagian dari kebijakan pemerintah pusat dalam memberikan kemudahan bagi para investor sekaligus sebagai daya tarik untuk menarik investasi ke Indonesia. Pertimbangan utama lahirnya Keppres ini dalam rangka meningkatkan efektivitas menarik investor berinvestasi di Indonesia. Banyaknya survei dan kajian yang memberikan gambaran tidak responsifnya aparatur pemerintah dalam memberikan pelayanan perizinan turut membentuk lahirnya pendekatan Sistem Pelayanan Satu Pintu (One Stop Services) untuk pelayanan perizinan. Selain itu, perlunya penyederhanaan pelayanan penyelenggaraan penanaman modal turut menguatkan implementasi pola Pelayanan Satu Atap. b. Peraturan Menteri dalam Negeri No.24 Tahun 2006 Peraturan yang ditandatangani oleh Mendagri Moh. Ma’ruf pada tahun 2006 ini boleh dikatakan sebagai peremajaan peraturan sebelumnya (Keppres No.29 Tahun 2004) tentang penyelenggaraan Pelayanan Satu Atap (One Stop Service). Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi, khususnya dalam memberikan peran yang lebih besar kepada usaha mikro, kecil, dan menengah, maka diperlukan penyederhanaan penyelenggaraan pelayanan terpadu sesuai Instruksi Presiden No.3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi. Tujuan penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu ini adalah meningkatkan kualitas layanan publik serta memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk memperoleh pelayanan publik. Sasaran yang ingin dicapai dari pelayanan satu pintu ini adalah terwujudnya pelayanan publik yang cepat, murah, mudah, transparan, pasti dan terjangkau yang pada akhirnya akan meningkatkan hak-hak masyarakat terhadap pelayanan publik, khususnya pelayanan perizinan. Beberapa perbaikan yang dilakukan pemerintah pusat terkait penyelenggaraan Pelayanan Satu Pintu memang cukup jelas dibandingkan dengan Keppres No.29 Tahun 2004 tentang penyelenggaraan Pelayanan Satu Atap. Beberapa penyederhanaan yang dilakukan antara lain menyangkut waktu, perangkat lembaga, biaya, prosedur pelayanan perizinan, penanganan pengaduan, sumber daya aparatur pemberi layanan, dan keterbukaan informasi. Dalam Pasal 4 ayat penyederhaan perizinan meliputi: 1. Pelayanan atas permohonan perizinan dan nonperizinan dilakukan oleh PPTSP; 2. Percepatan waktu proses penyelesaian pelayanan tidak melebihi standar waktu yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah; 3. Kepastian biaya pelayanan tidak melebihi dari ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah; 4. Kejelasan prosedur pelayanan dapat ditelusuri dan diketahui setiap tahapan proses pemberian perizinan dan nonperizinan sesuai dengan urutan prosedurnya; 5. Mengurangi berkas kelengkapan permohonan perizinan yang sama untuk dua atau Lebih permohonan perizinan; 6. Pembebasan biaya perizinan bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang ingin memulai usaha baru sesuai dengan peraturan yang berlaku; dan 7. Pemberian hak kepada masyarakat untuk memperoleh informasi dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pelayanan. c. Instruksi Presiden No.3 Tahun 2006 Guna mendukung peningkatan ekspor dan peningkatan investasi untuk pemulihan ekonomi nasional, pemerintah memandang perlu mengambil langkah-langkah yang mendukung peningkatan ekspor dan peningkatan investasi. Salah satunya dengan membentuk Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi. Instruksi ini ditujukan kepada seluruh jajaran pembantu presiden (menteri dalam kabinet) dan seluruh pemangku kebijakan di tingkat local untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing dalam rangka pelaksanaan Paket Kebijakan Iklim Investasi. Salah satu paket kebijakan yang disasar dari Instruksi Presiden ini adalah memperkuat kelembagaan pelayanan investasi. Program-program yang dibuat antara lain mempercepat perizinan kegiatan usaha dan penanaman modal, serta pembentukan perusahaan. Tindakan yang dilakukan guna mengefektifkan program di antaranya dengan melakukan peninjauan sejumlah ketentuan-ketentuan perizinan di bidang perdagangan, pembentukan sekaligus pengaktifan forum diskusi dengan dunia usaha, penyederhanaan proses pembentukan perusahaan dan izin usaha, serta merealisasikan sistem pelayanan terpadu untuk penanaman modal dengan pembagian kewenangan antara pusat dan daerah yang jelas. Instruksi Presiden ini juga mengatur sinkronisasi peraturan pusat dan peraturan daerah dengan cara melakukan peninjauan Perda-Perda yang menghambat investasi. Bidang kepabeanan dan cukai juga diatur dalam instruksi ini agar dapat mendukung pelaksanaan kegiatan investasi agar lebih baik. d. Inpres No.6 Tahun 2007 Pada tahun 2007 di mana pemerintah pusat kembali mengeluarkan Instruksi Presiden tentang Paket Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Rill dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Keputusan yang diambil pemerintah ini tampaknya ingin mendorong pelaku ekonomi menengah ke bawah (UMKM) untuk ikut berpartisipasi dalam percepatan pembangunan ekonomi. Sektor UMKM tidak dapat dipungkiri sebagai instrumen pelaku ekonomi yang tidak mudah digocang oleh krisis dan instabilitas ekonomi lainnya. Banyak yang menduga bahwa paket kebijakan ekonomi jilid II ini (sebelumnya adalah Paket Kebijakan Inpres No.3 Tahun 2006 berisi serangkaian program dan tindakan untuk perbaikan iklim investasi) tidak disambut baik oleh para pengusaha walau kehadiran paket kebijakan ini sangat penting untuk memacu perekonomian. Apatisme ini wajar karena belajar dari kebijakan paket deregulasi ekonomi sebelumnya hanya ramai dibicarakan pada saat awal implementasi, adapun target dan realisasi paket kebijakan ini masih jauh dari harapan. Menilik lebih jauh tidak terintegrasinya harapan dan kenyataan dari paket kebijakan ekonomi ternyata terletak pada inkonsistensi dan tidak tuntasnya paket kebijakan yang dibuat. Seringkali jangka waktu yang sangat sempit antara paket kebijakan satu dengan yang lain menimbulkan kontraproduktif sekaligus overlapping kebijakan. Paket investasi kebijakan yang dilegitimasi melalui Inpres No.6 tahun 2007 ini mencakup beberapa isu, seperti perbaikan iklim investasi, paket reformasi sistem keuangan, pemberdayaan UMKM, dan percepatan infrastruktur atau pembangunan. Substansi paket kebijakan ini terdiri atas paket perbaikan iklim investasi (terdiri dari 41 kebijakan), reformasi sektor keuangan (terdiri dari 43 kebijakan), percepatan pembangunan infrastruktur (28 kebijakan), dan pemberdayaan UMKM (29 kebijakan). Dari semua departemen yang mengambil peran kebijakan dalam paket kebijakan investasi ini, Departemen Keuangan memiliki porsi kebijakan paling banyak karena mengeluarkan 60 tindakan kebijakan. Inpres No.6 tahun 2007 ini secara umum merinci 141 tindakan yang akan dilakukan untuk empat isu utama dengan penanggung jawabnya adalah 19 menteri di bawah koordinasi Menteri bidang Perekonomian. Pada prinsipnya, substansi kebijakan iklim investasi, reformasi sektor keuangan, dan percepatan pembangunan merupakan lanjutan dari paket kebijakan investasi sebelumnya. C. Pengaruh Penerapan Best Practice Layanan Perizinan Usaha Terhadap Terciptanya Multiplier Effect Yang Mendukung Percepatan Pembangunan Daerah Menengok ke belakang pembuatan paket-paket stimulus kebijakan investasi ekonomi selama ini memang bagian dari strategi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menitikberatkan triple track strategy sebagai basis utama pembangunan ekonomi. Pengungkit kebijakan yang mampu memaksimalkan strategi yang pro-growth, pro-job, pro-poor salah satunya adalah Inpres No.6 tahun 2007 ini. Paket kebijakan ini selain memperkuat paket kebijakan investasi sebelumnya, diharapkan juga dapat menjadi katalisator dalam mengatasi persoalan kemiskinan dan pengangguran. Namun, tampaknya Inpres No.6 tahun 2007 ini sama nasibnya dengan paket kebijakan investasi lainnya yang berjalan kurang maksimal. Selain jangka waktu yang sangat singkat antara satu kebijakan dengan kebijakan yang lain, tumpang tindih kebijakan dan tidak terintegrasinya kebijakan-kebijakan yang dibuat justru menimbulkan hambatan baru. Respons dari sektor riil dan kalangan dunia usaha sendiri tidak maksimal terkait permasalahan tersebut. Walaupun setia paket kebijakan ini selalu membuat program, tindakan, keluaran, dan sasaran yang terukur dengan jelas serta target waktu, tetapi tidak mampu diimplementasikan secara maksimal. Sampai dengan akhir Maret 2008, dari semua program kebijakan yang telah dirancang Tinjauan Objektif Perizinan di Daerah Pada bagian ini, penulis mencoba memberikan gambaran mengenai kondisi objektif pelayanan perizinan di daerah. Deskripsi yang dipaparkan bersifat umum, dan tidak mewakili kondisi perizinan daerah tertentu. Berikut ulasan selengkapnya. a. Sebelum Era Otonomi Daerah Fenomena di berbagai daerah menunjukkan bahwa perizinan berpengaruh terhadap terciptanya iklim investasi di suatu wilayah, baik lingkup nasional maupun daerah. Di Indonesia, sebelum diterapkannya asas desentralisasi yang diwujudkan melalui pemberian otonomi kepada daerah, segala hal terkait dengan kebijakan perizinan bersifat sentralistis di mana pemerintah pusat adalah pembuat keputusan yang mutlak. Begitu pula dalam hal penetapan izinnya, semua harus melalui persetujuan pemerintah pusat. Faktor utama tumbuhnya penyelenggaraan investasi di Indonesia tidak lepas dari dua hal utama, yaitu stabilitas politik dan sosial. Peran penting investor, khususnya PMA sebagai salah satu penggerak pembangunan ekonomi di tengah keterpurukan kondisi ekonomi orde lama tidak dapat disangkal. Akselerasi pertumbuhan PMA mencapai puncaknya pada rentang tahun 1980-an sampai dengan tahun 1995. - Era Otonomi Daerah Permasalahan umum yang terjadi di Indonesia terkait dengan desentralisasi adalah kesiapan daerah dalam menerima kewenangan yang dilimpahkan dari pusat. Ketiadaksiapan hamper sebagian besar daerah ketika otonomi daerah dilaksanakan menimbulkan resistensi terhadapkualitas pelayanan sampai inefisiensi pengelolaan sumber daya lokal. Pemetaan permasalahan utama kegiatan investasi di Indonesia menurut survei KPPOD tahun 2002 adalah faktor daya tarik investasi daerah, kondisi sosial politik, infrastruktur fisik, kondisi ekonomi daerah, dan produktivitas tenaga kerja. - Reformasi Perizinan Reformasi birokrasi yang tengah dilakukan oleh pemerintah dewasa ini menuai berbagai tanggapan dari masyarakat. Sebagian mengatakan reformasi itu masih jalan di tempat, sebagian lagi memvonis bahwa apa pun namanya yang tengah dilakukan ini hanyalah perjuangan untuk mendapatkan tunjangan kesejahteraan yang meningkat, dan lain sebagainya. Deregulasi perizinan di Indonesia pasca-otonomi daerah sebenarnya telah dilakukan melalui berbagai instrumen kebijakan. Akan tetapi, patron birokrasi Indonesia yang sangat Webberian dan hierarkis menimbulkan inkonsistensi reformasi perizinan itu sendiri. Di dalam tubuh birokrasi, khususnya menyangkut unit pelaksana pelayanan perizinan ada beberapa identifikasi permasalahan yang ditemukan ditengarai menjadi penghambat reformasi perizinan. Berdasarkan Laporan Pendahuluan Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian yang disusun oleh Prof. Eko Prasojo et.al., Pertama, penyelenggaraan perizinan selama ini belum mampu menciptakan servis yang baik. Hal ini tidak terlepas dari adanya ketimpangan sumber daya manusia dalam birokrasi yang masih terbatas di level daerah. Gradasi kecukupan sumber daya antardaerah saat ini masih terjadi sehingga penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha mengalami perbedaan di setiap daerah otonom. Kedua, pelaksanaan perizinan usaha di Indonesia masih identik dengan biaya yang tidak pasti. Transparansi biaya yang tidak pasti menjadi alasan utama bagi calon investor untuk menanamkan modalnya. Biaya yang tidak pasti dapat timbul karena aturan main yang tidak mengatur transparansi biaya, atau moral hazard yang dilakukan aparatur negara dengan pembuat izin. Hasil penelitian di Kota Makassar memberikan gambaran bahwa perilaku seperti ini masih muncul dalam proses perizinan. Selain karena faktor budaya lokal, kesempatan kompromi antara pemberi dan penerima layanan turut menimbulkan biaya yang tidak seperti pungutan liar di luar tarif resmi yang ditetapkan. Ketiga, budaya elitis lokal yang mengedepankan kedekatan kekuasaan juga menjadi ranah terjadinya inkonsistensi penyelenggaraan perizinan. Pada era otonomi daerah, kedekatan dengan penguasa menjadi jurus ampuh dalam mendapatkan proyek dan berbagai kemudahan usaha lainnya. Kedekatan ini didasari atas kepentingan kelompok, individu, dan kekerabatan keluarga. Seringkali, proses transparansi perizinan tidak terjadi jika melibatkan permohonan izinizin yang berafiliasi dengan elit lokal. Keempat, ketimpangan kompetensi dalam pelayanan perizinan usaha dari sisi SDM serta sarana dan prasarana turut memengaruhi keberhasilan penyelenggaraan pelayanan perizinan. Keterbatasan jumlah dan kualitas SDM akan memengaruhi kinerja organisasi secara umum. Minimnya sarana dan prasarana juga menjadi permasalahan mendasar yang hampir ditemui di daerah. Hal ini tidak lepas dari dukungan dana dan political will dari kepala daerah untuk mereformasi pelayanan perizinan usaha sebagai katub masuknya investasi ke daerah. BAB III KESIMPULAN Penyelenggaraan perizinan selama ini belum mampu menciptakan servis yang baik. Hal ini tidak terlepas dari adanya ketimpangan sumber daya manusia dalam birokrasi yang masih terbatas di level daerah. Gradasi kecukupan sumber daya antardaerah saat ini masih terjadi sehingga penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha mengalami perbedaan di setiap daerah otonom. Pelaksanaan perizinan usaha di Indonesia masih identik dengan biaya yang tidak pasti. Transparansi biaya yang tidak pasti menjadi alasan utama bagi calon investor untuk menanamkan modalnya. Biaya yang tidak pasti dapat timbul karena aturan main yang tidak mengatur transparansi biaya, atau moral hazard yang dilakukan aparatur negara dengan pembuat izin. Gambaran bahwa perilaku seperti ini masih muncul dalam proses perizinan. Selain karena faktor budaya lokal, kesempatan kompromi antara pemberi dan penerima layanan turut menimbulkan biaya yang tidak seperti pungutan liar di luar tarif resmi yang ditetapkan. Budaya elitis lokal yang mengedepankan kedekatan kekuasaan juga menjadi ranah terjadinya inkonsistensi penyelenggaraan perizinan. Pada era otonomi daerah, kedekatan dengan penguasa menjadi jurus ampuh dalam mendapatkan proyek dan berbagai kemudahan usaha lainnya. Kedekatan ini didasari atas kepentingan kelompok, individu, dan kekerabatan keluarga. Seringkali, proses transparansi perizinan tidak terjadi jika melibatkan permohonan izinizin yang berafiliasi dengan elit lokal. Ketimpangan kompetensi dalam pelayanan perizinan usaha dari sisi SDM serta sarana dan prasarana turut memengaruhi keberhasilan penyelenggaraan pelayanan perizinan. Keterbatasan jumlah dan kualitas SDM akan memengaruhi kinerja organisasi secara umum. Minimnya sarana dan prasarana juga menjadi permasalahan mendasar yang hampir ditemui di daerah. Hal ini tidak lepas dari dukungan dana dan political will dari kepala daerah untuk mereformasi pelayanan perizinan usaha sebagai katub masuknya investasi ke daerah. DAFTAR PUSTAKA Buku-buku : A. Nurmadi, Manajemen Pelayanan Umum, Bina Aksara, Jakarta, 1995. hal: 43 Poltak Lijan sinambela, Reformasi Pelayanan Publik Teori kebijakan dan implementasi, (Jakarta: Bumi Aksara , 2006) , hlm: 4 Prof. Dr. Abdul Halim, M.B.A., Akt., Analisis Investasi (Belanja Modal) Sektor Publik- Pemerintah Daerah, (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2008), hlm: 5 Ratminto dan Atik Septi Winarsih, 2005. Manajemen Pelayanan. Jakarta : Pustaka Pelajar : hlm: 19 Internet : Salama Fahmy. 2005. One-Stop Shop. A case study. dikutip dalam http://bkpm.go.id/, diakses 20 april 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar