meskipun dunia ini akan runtuh hukum harus ditegakan
Perbuatan Melawan Hukum
Perspektif Hukum Perdata
Pasal 1365 BW yang terkenal sebagai pasal yang mengatur tentang perbuatan melawan hukum memegang peranan penting dalam hukum perdata.
Dalam pasal 1365 BW tersebut memuat ketentuan sebagai berikut :
“Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian”
Dari pasal tersebut dapat kita lihat bahwa untuk mencapai suatu hasil yang baik dalam melakukan gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum maka harus dipenuhi syarat-syarat atau unsur-unsur sebagai berikut :
- Perbuatan yang melawan hukum, yaitu suatu perbuatan yang melanggar hak subyektif orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat sendiri yang telah diatur dalam undang-undang[1]. Dengan perkataan lain melawan hukum ditafsirkan sebagai melawan undang-undang.
- Harus ada kesalahan, syarat kesalahan ini dapat diukur secara :
- Obyektif yaitu dengan dibuktikan bahwa dalam keadaan seperti itu manusia yang normal dapat menduga kemungkinan timbulnya akibat dan kemungkinan ini akan mencegah manusia yang baik untu berbuat atau tidak berbuat.
- Subyektif yaitu dengan dibuktikan bahwa apakah si pembuat berdasarkan keahlian yang ia miliki dapat menduga akan akibat dari perbuatannya.
Selain itu orang yang melakukan perbuatan melawan hukum harus dapat dipertanggungjawaban atas perbuatannya, karena orang yang tidak tahu apa yang ia lakukan tidak wajib membayar ganti rugi.
Sehubungan dengan kesalahan in terdapat dua kemungkinan :
·
- Orang yang dirugikan juga mempunyai kesalahan terhadap timbulnya kerugian. Dalam pengertian bahwa jika orang yang dirugikan juga bersalah atas timbulnya kerugian, maka sebagian dari kerugian tersebut dibebankan kepadanya kecuali jika perbuatan melawan hukum itu dilakukan dengan sengaja[2].
- Kerugian ditimbulkan oleh beberapa pembuat. Jika kerugian itu ditimbulkan karena perbuatan beberapa orang maka terhadap masing-masing orang yang bertanggung jawab atas terjadinya perbuatan tersebut dapat dituntut untuk keseluruhannya.[3]
3. Harus ada kerugian yang ditimbulkan. Dalam pengertian bahwa kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum dapat berupa :
- Kerugian materiil, dimana kerugian materiil dapat terdiri dari kerugian yang nyata-nyata diderita dan keuntungan yang seharunya diperoleh. Jadi pada umumnya diterima bahwa si pembuat perbuatan melawan hukum harus mengganti kerugian tidak hanya untuk kerugian yang nyata-nyata diderita, juga keuntungan yang seharusnya diperoleh.
- Kerugian idiil, dimana perbuatan melawan hukum pun dapat menimbulkan kerugian yang bersifat idiil seperti ketakutan, sakit dan kehilangan kesenangan hidup.
Untuk menentukan luasnya kerugian yang harus diganti umumnya harus dilakukan dengan menilai kerugian tersebut, untuk itu pada azasnya yang dirugikan harus sedapat mungkin ditempatkan dalam keadaan seperti keadaan jika terjadi perbuatan melawan hukum. Pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi tidak hanya kerugian yang telah ia derita pada waktu diajukan tuntutan akan tetapi juga apa yang ia akan derita pada waktu yang akan datang.
4. Adanya hubungan causal antara perbuatan dan kerugian. Untuk memecahkan hubungan causal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian, terdapat dua teori yaitu :
- Condition sine qua non, dimana menurut teori ini orang yang melakukan perbuatan melawan hukum selalu bertanggung jawab jika perbuatannya condition sine qua non menimbulkan kerugian (yang dianggap sebagai sebab dari pada suatu perubahan adalah semua syarat-syarat yang harus ada untuk timbulnya akibat).
- Adequate veroorzaking, dimana menurut teori ini si pembuat hanya bertanggung jawab untuk kerugian yang selayaknya dapat diharapkan sebagai akibat dari pada perbuatan melawan hukum.
Terdapat hubungan causal jika kerugian menurut aturan pengalaman secara layak merupakan akibat yang dapat diharapkan akan timbul dari perbuatan melawan hukum.[4]
Jadi secara singkat dapat diperinci sebagai berikut :
- Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh organ badan hukum, pertanggungjawabannya didasarkan pada pasal 1364 BW.
- Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seorang wakil badan hukum yang mempunyai hubunga kerja dengan badan hukum, dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan pasal 1367 BW.
- Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh organ yang mempunyai hubungan kerja dengan badan hukum, pertanggung jawabannya dapat dipilih antara pasal 1365 dan pasal 1367 BW
Perspektif Hukum Pidana
Dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum saja, perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan pidana.
Langemeyer mengatakan untuk melarang perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum, yang tidak dipandang keliru, itu tidak masuk akal”. Mengenai ukuran daripada keliru atau tidaknya suatu perbuatan tersebut ada dua pendapat yaitu :
- Yang pertama ialah apabila perbuatan telah mencocoki larangan undang-undang maka disitu ada kekeliruan. Letak perbuatan melawan hukumnya sudah ternyata, dari sifat melanggarnya ketentuan undang-undang kecuali jika termasuk perkecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang pula. Dalam pendapat pertama ini melawan hukum berarti melawan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang. Pendirian yang demikian disebut pendirian yang formal.
- Yang kedua berpendapat bahwa belum tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undang-undang bersifat melawan hukum, karena menurut pendapat ini yang dinamakan hukum bukanlah undang-undang saja, disamping undang-undang (hukum yang tertulis) adapula hukum yang tidak tertulis yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat. Pendirian yang demikian disebut pendirian yang materiil.
Yang berpendapat formal untuk dapat dipidana perbuatan harus mencocoki rumusan delik yang tersebut dalam wet, jika sudah demikian biasanya tidak perlu lagi untuk menyelidiki apakah perbuatan melawan hukum atau tidak.
Selanjutnya menurut Simons[5] “hemat saya pendapat tentang sifat melawan hukum yang materiil tidak dapat diterima, mereka yang menganut faham ini menempatkan kehendak pembentuk undang-undang yang telah ternyata dalam hukum positif, dibawah pengawasan keyakinan hukum dari hakim persoonlijk. Meskipun betul harus diakui bahwa tidak selalu perbuatan yang mencocoki rumusan delik dalam wet adalah bersifat melawan hukum, akan tetapi perkecualian yang demikian itu hanya boleh diterima apabila mempunyai dasar hukum dalam hukum positif sendiri”.
Kiranya perlu ditegaskan disini bahwa dimana peraturan-perautan hukum pidana kita sebagian besar telah dimuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan laian-lain perundang-undangan, maka pandangan tentang hukum dan sifat melawan hukum materiil diatas hanya mempunyai arti dalam memperkecualikan perbuatan yang meskipun masuk dalam perumusan undang-undang itu toh tidak merupakan perbuatan pidana.
Akan tetapi jika kita mengikuti pandangan yang materiil maka bedanya dengan pandangan yang formal adalah :
- Mengakui adanya pengecualian atau penghapusan dari sifat melawan hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis, sedangkan pandangan yang formal hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja.
- Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan perbuatan pidana juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut, sedang bagi pandanagan yang formal sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur daripada perbuatan pidana, hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata nyata barulah menjadi unsur delik.
Dengan mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu menjadi unsur perbuatan pidana, ini tidak berarti bahwa karena itu harus selalu dibuktikan adanya unsur tersebut oleh penuntut umum. Soal apakah harus dibuktikan atau tidak, adalah tergantung dari rumusan delik yaitu apakah dalam rumusan unsur tersebut disebutkan dengan nyata-nyata, jika dalam rumusan delik unsur tersebut tidak dinyatakan maka juga tidak perlu dibuktikan.
Adapun konsekuensi daripada pendirian yang mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu menjadi unsur tiap-tiap delik adalah sebagai berikut :
- Jika unsur melawan hukum tidak tersebut dalam rumusan delik maka unsur itu dianggap dengan diam-diam telah ada, kecuali jika dibuktikan sebaliknya oleh pihak terdakwa.
- Jika hakim ragu untuk menentukan apakah unsur melawan hukum ini ada atau tidak maka dia tidak boleh menetapkan adanya perbuatan pidana dan oleh karenanya tidak mungkin dijatuhi pidana.
Menurut Jonkers dan Langemeyer dalam hal iu terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van recht vervolging).
Perspektif Hukum Administrasi Negara
“Perbuatan hukum adalah perbuatan yang mengakibatkan peristiwa hukum, secara yuridis dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu :
- Yang bersifat perdata
Pihak aparat atau penguasa atau administrasi dapat bertindak sebagai salah satu pihak dalam perjanjian perdata atau sebagai individu perdata yang dapat membuat kontrak untuk melakukan perbuatan tertentu.
Contoh : tender pengadaan bangunan atau kontrak perjanjian.
- Yang bersifat publik
Bersegi satu atau sepihak
Unsur dalam membuat ketentuan secara sepihak yaitu :
- Dilakukan oleh administrasi Negara.
- Berdasarkan kekuasaan istimewa.
- Demi kepentingan umum.
Contoh : secara sepihak pihak yang berwenang berhak untuk menutup pabrik yang melanggar IPAL.
Bersegi dua atau dua pihak
Yaitu perbuatan hukum dimana terjadi perjanjian atau kesepakatan atau penyesuaian kehendak antara kedua belah pihak yang hubungan hukumnya tersebut diatur oleh hukum istimewa yaitu hukum publik.
Dalam hukum administrasi Negara perbuatan atau keputusan yang sewenang-wenang adalah suatu perbuatan atau keputusan administrasi Negara yang tidak mempertimbangkan semua faktor yang relevan dengan kasus yang bersangkutan secara lengkap dan wajar sehingga tampak atau terasa oleh orang-orang yang berpikir sehat (normal) adanya ketimpangan.
Sikap sewenang-wenang akan terjadi bilamana pejabat administrasi Negara yang bersangkutan menolak untuk meninjau kembali keputusannya yang oleh masyarakat yang bersangkutan dianggap tidak wajar. Keputusan tersebut dapat digugat pada Pengadilan Perdata sebagai “perbuatan melawan hukum” atau “onrechmatige over heidsdaad”.
Didalam hukum admininstrasi Negara Inggris-Amerika Serikat asas yang sangat penting dan dibahas secara luas adalah asas larangan “ultra vires” yakni penyalahgunan jabatan atau wewenang dalam segala bentuk. Di Indonesia istilah yang dipergunakan adalah “detournement de pouvoir” yakni bilamana suatu wewenang oleh pejabat yang bersangkutan dipergunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan atau menyimpang daripada apa yang dimaksudkan atau dituju oleh wewenang sebagimana ditetapkan atau ditentukan oleh undang-undang (dalam arti luas, dalam arti materiil) yang bersangkutan.
[1] Rumusan Hoge Raad sebelum tahun 1919
[2] Vollmar, op. cit. halaman 458[3] Vollmar, loc. cit
[4] Voolmar, Ibid 457
[5] Moeljatno, Azas-azsas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. 2002. halaman 132
MEMBEDAH PERBUATAN MELAWAN HUKUM DAN
WANPRESTASI
(Sebuah Kajian Elementer Hukum Normatif)
--------------------------------------------------------------
Drs.H.A.Mukhsin Asyrof, SH.,MH.
◊
Pendahuluan.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang merubah
dan menambah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, telah memberikan kewenangan baru ,
disamping memantapkan kewenangan yang lama, kepada
Badan Peradilan Agama. Kewenangan baru itu ialah kewe-
nangan untuk mengadili dan menyelesaikan sengketa di
bidang ekonomi syari‟ah termasuk di dalamnya sengketa
perbankkan syari‟ah.
Dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
disebutkan: “Pengadilan agama bertugas dan berwenang
meme-riksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat
pertama antara orang-orangyang bergama Islam di bidang:
a. Perkawinan;
b. Waris;
c. Wasiat;
d. Hibah;
e. Wakaf;
f. Zakat;
g. Infak;
h. Shadaqah; dan
i. Ekonomi syari‟ah.”
Disampaikan pada Penyegaran Tehnis Judisial Hakim Pengadilan Agama Se
Wilayah Pengadilan Tinggi Agama Pekanbaru di Tanjungpinang, Kepulauan Riau tgl. 16-18
Januari 2008 dan di Tembilahan, Riau, tgl. 11- 13 Februari 2008, dengan sedikit perubahan.
◊ KPTA Pekanbaru H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi 2
Dalam penjelasan terhadap Pasal 49 tersebut ditegas-
kan bahwa: “Penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di
bidang perbankkan syari‟ah, melainkan juga di bidang
ekonomi syari‟ah lainnya”.
Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang
beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum
yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela
kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi
kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal
ini.
Selanjutnya, dalam Penjelasan Pasal 49 huruf (i)
dijelaskan: Yang dimaksud dengan “ekonomi syari‟ah” adalah
perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut
prinsip syari‟ah, antara lain meliputi: bank syari‟ah; lembaga
keuangan mikro syari‟ah; asuransi syari‟ah; reasuransi
syari‟ah; reksadana syari‟ah; obligasi syari‟ah dan surat
berharga berjangka menengah syari‟ah; sekuritas syari‟ah;
pembiayaan syari‟ah; pegadaian syari‟ah; dana pensiun
lembaga keuangan syari‟ah;dan bisnis syari‟ah.
Sudah seharusnya, kewenangan baru ini dipelajari dan
difahami benar oleh para hakim Peradilan Agama secara
bersungguh sungguh. Pemilihan materi penyegaran dengan
pokok bahasan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi,
adalah dalam rangka mengawali kegiatan studi ekonomi
syari‟ah, sebagai langkah persiapan mengemban kewenangan
baru tersebut.
Seperti diketahui, sengketa ekonomi syari‟ah, khusus-
nya perbankkan syar‟iah, dalam sistimatika hukum perdata
terutama berada dalam lingkup Buku III Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPdt= Burgerlijke Wetboek= BW)
tentang perikatan (van Verbintenissen) disamping Buku II H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi 3
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt= Burgerlijke
Wetboek= BW) tentang benda (van Zaken), serta Buku III
Kitab Undang- Undang Hukum Dagang (KUHD= Wetboek van
Kophandel) tentang Kepailitan. Sedangkan bagian pokok dari
hukum perikatan khususnya yang berkaitan dengan sengketa
ekonomi syari‟ah adalah tentang perbuatan melawan hukum
(PMH) dan wanprestasi.
Sistimatika Hukum Perdata Materiel.
Sebelum mengkaji lebih lanjut, tentang perbuatan
melawan hukum dan wanprestasi, dipandang perlu mengkaji
ulang sistimatika hukum perdata, agar pengetahuan kita
tentang perbuatan melawan hukum dan wanprestasi berada
dalam suatu bingkai yang utuh dan sistimatis.
Menurut Prof. Dr. Ny. Sri Soedewi,SH, (Hukum Perdata,
Hu-kum Benda, hal. 1) , hukum perdata adalah hukum yang
meng-atur kepentingan antara warganegara perseorangan
yang satu dengan warganegara perseorangan yang lain.
Dapat pula disebutkan bahwa, hukum perdata (hukum
privat /hukum sipil) adalah aturan-aturan atau norma-norma
yang mengatur hubungan antar perorangan dalam masya-
rakat dalam bentuk hak dan kewajiban yang pemenuhannya
dapat dipaksakan dengan bantuan penguasa.
Hukum perdata mempunyai dua pengertian: luas dan
sempit. Dalam pengertian yang luas dia mencakup hukum
perdata dalam arti sempit ditambah hukum dagang. Hukum
dagang sumber utamanya adalah KUHD (Wetboek van
Kophandel= W.v.K.).
Selanjutnya hukum perdata dalam arti sempit hanya
mencakup hukum perdata saja sebagai lawan dari hukum
dagang, yang dapat dibedakan kepada hukum perdata mate-
riel yang bersumber pokok pada KUHPdt (Kitab Undang-H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi 4
Undang Hukum Perdata= Burgerlijke Weboek= BW);
dan
hukum perdata formeel (hukum acara perdata) yang
bersumber pada HIR (Herziene Indo-nesische Reglement) dan
RBg. (Reglement Buiten Gewesten)
.
Pokok bahasan kita ada pada hukum perdata materiel.
Dalam sisitimatika KUHPdt. (BW) hukum perdata materiel
terbagi dalam empat buku, yakni:
a. Buku I tentang orang (van personen) yang berisi
hukum perorangan (personen recht) dan hukum
keluarga (familie recht)
b. Buku II tentang benda (van zaken) yang berisi hukum
kebendaan (zakenrecht) dan hukum kewarisan
(erfrecht);
c. Buku III tentang perikatan/ perutangan (van verbin-
tenissen);
d. Buku IV tentang bukti dan kedaluwarsa (van bewijs en
verjaring)2
.
Menurut sistimatika ilmu hukum, hukum perdata
materiel terdiri dari:
a. Hukum perorangan/ badan pribadi (personenrecht) yakni
hukum yang mengatur segala sesuatu tentang pribadi/
manusia sebagai subjek hukum, seperti tentang subjek
hukum, kecakapan bertindak dalam hukum (melaksanakan
hak), kedewasaan, tempat tinggal/ domisili dll
b. Hukum Keluarga (familierecht), yakni hukum yang
mengatur hubungan-hubungan hukum yang timbul dari
kehidupan keluarga/rumahtangga, seperti: hukum perka-
winan termasuk hubungan hukum kekayaan antara suami-
1
Menurut Vollmar (I/ 1983), hukum Acara Perdata masuk dalam kelompok
Hukum Perdata dalam arti luas (hal. 4), sedangkan menurut Ridwan Halim (1986;
hal. 12) masuk dalam kelompok Hukum Perdata dalam arti sempit.
2
Sebenarnya bukti dan kedaluwarsaan ini masuk hukum perdata
formel. H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi 5
isteri, kekuasaan orangtua (hubungan antara orangtua dan
anak), perwalian, curatele3
, perceraian dan sebagainya.
c. Hukum Harta Kekayaan (vermogensrecht) yakni hukum
yang mengatur hubungan hukum yang berkaitan dengan
harta kekayaan dan yang berkaitan dengan itu (hukum
perikatan). Dengan kata lain mengatur hubungan hukum
yang dapat dinilai dengan uang. Jadi mencakup zakenrecht
dan verbintenissen-recht.
d. Hukum kewarisan (erfrecht) yakni hukum yang mengatur
peralihan harta kekayaan berkaitan dengan adanya
kematian. Jadi sebenarnya hukum kewarisan berkaitan
erat dengan hukum harta kekayaan (vermogensrecht)
yang dihubungkan dengan hukum kekeluargaan (familie-
recht) dan kematian. Dapat juga disebutkan bahwa,
hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur akibat
hubungan keluarga terhadap harta peninggalan
seseorang.
4
Hukum Perikatan (Perutangan/ Verbintenissenrecht)
Dalam bahasa Indonesia, Verbintenissenrecht sering
disebut hukum perikatan atau hukum perutangan. Hukum
peri-katan adalah aturan yang mengatur hubungan hukum
dalam lapangan hukum harta kekayaan (vermogen recht)
antara dua orang atau lebih, yang memberi hak (recht) pada
salah pihak (schuldeiser= kreditur) dan memberi kewajiban
(plicht) pada pihak yang lain (schuldenaar= debitur) atas
sesuatu prestasi.
5
3
Curatele= pengampuan terhadap orang dewasa yang dianggap tidak cakap bert indak
hukum, misalnya karena gila, boros dsb.
4
Sri Sudewi; Hukum Perdata : Hukum Benda, 1981, hal. 2; Subekti: Pokok-Pokok
Hukum Perdata; 2003, cet. XXXI, PT. Intermasa, hal. 16- 17.
5
Bandingkan: R.Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, 1977, hal.
1-2.; Yahya Harahap: `Segi-Segi Hukum Perjanjian, 1986, II, Alumni, Bandung,
hal. 6. H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi 6
Subjek perikatan adalah mereka yang memperoleh
hak (schuldeiser= kreditur) dan mereka yang dibebani
kewajiban (schuldenaar= debitur) atas suatu prestasi. Pada
prinsipnya, semua orang, baik natuurlijke persoon maupun
rechts persoon (badan hukum), dapat menjadi subjek
perikatan.
Objek perikatan (voorwerp der verbintenissen) adalah
hak pada kreditur dan kewajiban pada debitur yang
dinamakan prestasi. Prestasi tersebut dapat berupa:
(a). tindakan memberikan sesuatu (misalnya penyerahan hak
milik dalam jual beli, sewa menyewa dll),
(b). melakukan suatu perbuatan (misalnya melaksanakan
pekerjaan tertentu, dll) atau;
(c). tidak berbuat (misal: tidak akan membangun suatu
bangunan pada suatu bidang tanah tertentu, dll.) (Baca:
Pasal 1234 KUHPdt.).
Pasal 1233: Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan,
maupun karena undang-undang.
Pasal 1234: Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu,
untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
6
Dalam suatu perikatan pasti terdapat hak dan kewa-
jiban, namun tidak semua hak dan kewajiban merupakan
perikatan dalam arti hukum. Perikatan adalah suatu hubungan
hukum yang diatur dan diakui hukum (dalam Buku II) yang
berkaitan dengan lingkup hukum kekayaan (vermogenrecht).
Hubungan hukum yang bersifat hukum keluarga (familierecht)
seperti kewajiban suami isteri, tidak termasuk dalam
perikatan.
7
6 Subekti, Tjitrosudibio; Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 1990,
cet. Ke 23; Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 269)
7 Dalam suatu diskusi kecil, diajukan suatu pertanyaan, apakah seorang
suami yang tidak membayar nafkah isteri dapat disebut melakukan suatu
perbuatan melawan hukum (PMH). Jawaban sementara, secara yuridis, tidak.
Karena kewajiban suami isteri berada dalam lingkup familie recht (Buku I),
sedangkan perbuatan melawan hukum berada dalam lingkup hukum perikatan
(verbintenissen recht= Buku II). H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi 7
Namun ada beberapa hubungan hukum dalam hukum
keluarga yang mempunyai sifat hukum harta kekayaan,
misalnya wasiat, sehingga memungkinkan penerapan keten-
tuan umum hukum perikatan (verbintenissen recht).
8
Untuk menentukan apakah hubungan hukum itu masuk
dalam hukum perikatan atau tidak, pada umumnya para
sarjana menggunakan ukuran apakah hubungan hukum itu
dapat dinilai dengan sejumlah uang, yakni apakah
kerugian yang diakibatkan wanprestasi atau akibat suatu
perbuatan melawan hukum itu dapat diukur dengan sejumlah
uang atau tidak, (bernilai ekonomis atau tidak). Namun
demikian dalam perikatan ada hubungan hukum yang tidak
dapat dinilai dengan uang, dan hal ini dianggap sebagai suatu
pengecualian.
9
Sumber perikatan. Hubungan hukum dalam perikatan
tidak bisa timbul dengan sendirinya, melainkan harus
didahului oleh adanya tindakan hukum (rech-handeling) yang
dilakukan pihak-pihak, sehingga menimbulkan hak di satu sisi
dan kewajiban pada pihak lain. Suatu perikatan terjadi karena
adanya perjanjian / persetujuan atau karena tindakan yang
sesuai atau tidak sesuai dengan undang-undang.
Dengan demikian, sumber perikatan itu ada dua, yakni:
perjanjian dan undang-undang (Baca: Pasal 1233 KUHPdt.di
atas).
Perikatan yang timbul karena undang-undang dibedakan
kepada dua macam:
a. karena undang-undang saja, adalah perikatan yang
timbul oleh hubungan kekeluargaan, yang terdapat
pada Buku I KUHPdt., seperti kewajiban alimentasi
(biaya /tunjangan nafkah hidup seperti dimaksud Pasal
8 Setiawan: op cit, hal. 2
9
Setiawan: op cit, hal. 2 – 3. H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi 8
227 KUHPdt. atau biaya pemeliharaan dalam Pasal 45
UU.No.1/ 1974, nafkah cerai dll.), atau kewajiban
seorang anak yang mampu untuk memberi nafkah
kepada orangtuanya yang miskin, dll.
10
dan buren-recht
(hukum berketetanggaan= Pasal 625 dst, Buku II Bab
ke empat KUHPdt.).
Pasal 227KUHPdt.: Kewajiban memberi tunjangan nafkah
berakhir dengan meninggalnya si suami atau si isteri.
Pasal 625 KUHPdt.: Antara sesama pemilik- pemilik
pekarangan yang satu dengan yang lain bertetanggaan, berlaku
beberapa hak dan kewajiban, baik yang berpangkal pada letak
pekarangan mereka karena alam, maupun yang berdasar atas
ketentuan-ketentuan undang-undang.
b. Karena perbuatan manusia, yang dibagi dua, yakni:
(1).Perbuatan menurut hukum (misal: zaakwarneming11
= perwakilan sukarela Psl. 1354-1358 KUHPdt; on-
vershuldigde betaling=pembayaran yang tidak di-
wajibkan.
(2). Perbuatan melawan hukum (PMH).
12
Sedangkan perikatan atas dasar persetujuan atau atas
dasar perjanjian juga pada dasarnya terbagi dua: yakni yang
dipenuhi, dan yang tidak dipenuhi (=wanprestasi).
Dalam bahasan kita sekarang ini yang akan dibicarakan
adalah, perbuatan melawan hukum dan wanprestasi
karena kedua hal inilah yang menjadi sebab terjadinya
sengketa di pengadilan dalam hukum perikatan.
10 Subeki, Pokok-Pokok Hukum Perdata, op cite, hal. 132.
11 Zaakwarneming adalah suau perbuatan, dimana seseorang secara suka-
rela menyediakan dirinya untuk mengurus kepentingan oranglain, dengan perhi-
tungan dan resiko untuk orang lain tersebut (Pasal 1354 KUHPdt)..
12
Vollmar: Pengantar Studi Hukum Perdata, II, cet. I, 1984, Rajawali,
Jakar-ta, hal. 71- 72. Vide: Setiawan: Pokok-Pokok Hukum Perikatan, cet. I,
1977, Bina-cipta, Bandung, hal. 12- 13. H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi 9
Perbuatan Melawan Hukum (Onrechmatigedaad= o.d)
Perkembangan Pengertian PMH. Meskipun Pasal
1365 dan Pasal 1366 KUHPdt. mengatur tentang tuntutan
ganti rugi akibat adanya perbuatan melawan hukum, namun,
kedua pasal tersebut tidak menyebutkan apa yang dimaksud
dengan „perbuatan melawan hukum‟ itu. Pengertian „per-
buatan melawan hukum‟ diperoleh melalui yurisprudensi, yang
menunjukkan adanya perkembangan penafsiran yang sangat
penting dalam sejarah hukum perdata. Karena hukum perdata
kita berasal dari hukum perdata Nederland/ Belanda, maka
dalam penafsiran ini, kitapun masih harus berkiblat kesana.
Kedua pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1365: ”Tiap perbuatan melanggar hukum, yang mem-
bawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut”.
Pasal 1366 : “Setiap orang bertanggungjawab tidak saja un-
tuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi
juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau
kurang hati-hatinya”13
Menurut para ahli dalam Pasal 1365 di atas, mengatur
per-tanggungjawaban yang diakibatkan oleh perbuatan
melawan hu-kum baik karena berbuat (positif = culpa in
committendo) atau karena tidak berbuat (pasif= culpa in
ommittendo). Sedangkan Pasal 1366 mengatur pertanggung-
jawaban yang diakibatkan oleh kesalahan karena kelalaian
(onrechtmatige nalaten).
14
13
Subekti dan Tjitrosudibio: op cit, hal. 288- 289.
14 Moegni Djojodirdjo: Perbuatan Melawan Hukum, cet. II, 1982,
Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 27. H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi 10
Moegni Djojodirjo dalam bukunya „Perbuatan Melawan
Hukum‟ menyebutkan bahwa, perkembangan penafsiran
penger-tian „perbuatan melawan hukum‟ terbagi dalam tiga
fase, sebagai berikut:
a) masa antara tahun 1838 sampai tahun 1883.
b) Masa antara tahun 1883 sampai tahun 1919.
c) Masa sesudah tahun 1919.
15
Adanya kodifikasi sejak tahun 1838 membawa peru-
bahan besar terhadap pengertian perbuatan melawan hukum
(onrecht-matigedaad) yang diartikan pada waktu itu sebagai
on wetmatigedaad (perbuatan melanggar undang-undang)
yang berarti bahwa suatu perbuatan baru dianggap melanggar
hukum, bilamana per-buatan tersebut bertentangan dengan
15
Moegni Djojodirdjo: op cit, hal. 28 – 30.
PERIKATAN
(Psl. 1233 KUHPdt.)
PERJANJIAN
UNDANG-UNDANG
(Psl. 1352KUHPdt.)
UNDANG-UNDANG
DAN PERBUATAN
MANUSIA
(Psl. 1253KUHPdt.)
UNDANG-UNDANG
SAJA
PERBUATAN
MENURUT HUKUM
PERBUATAN
MELAWAN HUKUM
(Psl. 1365 KUHPdt.)
DIPENUHI
WANPRES-
TASI H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi 11
undang-undang.
16
Pengertian sempit ini sangat dipengaruhi
oleh aliran legisme dalam filsafat hukum.
Setelah tahun 1883 sampai sebelum tahun 1919,
pengertian perbuatan melawan hukum diperluas sehingga
mencakup juga pelanggaran terhadap hak subjektif orang
lain17
. Dengan kata lain, perbuatan melawan hukum
(PMH) adalah berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan
dengan kewajiban hukum si pelaku atau melanggar hak
subjektif orang lain. Dalam hal ini, Pasal 1365 KUHPdt. diar-
tikan sebagai perbuatan/ tindakan melawan hukum (culpa in
committendo) sedangkan Pasal 1366 difahami sebagai
perbuatan melawan hukum dengan cara melalaikan (culpa in
ommittendo), meskipun juga diakui dalam Pasal 1365 juga
terdapat pengertian culpa in ommittendo .
18
Apabila suatu perbuatan (berbuat atau tidak berbuat)
tidak melanggar hak subjektif orang lain atau tidak melawan
kewajiban hukumnya/ tidak melanggar undang-undang, maka
perbuatan tersebut tidak termasuk perbuatan melawan
hukum. Pendirian seperti ini terlihat dalam Putusan Hoge
Raad (Mahkamah Agung Belanda) tentang Singernaiimachine
Mij Arrest tanggal 6 Januari 1905 dan Waterkraan Arrest
tanggal 10 Juni 1910.
Singernaaimachine Mij Arrest, 6 Januari 1905.
Maatschappij Singer yang menjual mesin jahit merk
Singer tersaingi oleh toko lain yang menjual mesin jahit merk
lain yang berada diseberang jalan, dengan cara memasang
reklame di depan tokonya berbunyi “Verbeterde Singernaai-
machine Mij” (Tempat Perbaikan Mesin Jahit Singer). Akibat
reklame ini, orang menyangka bahwa toko tersebut menjual
16
Moegni Djojodirdjo: op cit, hal. 28,
17
Apa yang dimaksud dengan ‘hak subjektif’ lihat di bawah.
18
Moegni Djojodirdjo: op cit, hal. 28- 30, vide: Rachmat Setiawan:
Tinjauan Elementer Perbuatan Melanggar Hukum, cet. I, 1991, Binacipta,
Bandung, hal. 7. H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi 12
mesin jahit merk Singer yang asli, sehingga toko Singer asli
menjadi sepi pembeli.
Toko Singer asli menuntut toko penjual mesin jahit
palsu tersebut berdasarkan Pasal 1401 NBW/ Pasal 1365
KUHPdt., tetapi Hooge Raad menolak gugatan tersebut karena
berpendirian toko Singer palsu tersebut tidak melanggar
undang- undang maupun hak subjektif orang lain.
19
Waterkraan Arrest tanggal 10 Juni 1910.
Pada suatu malam yang sangat dingin, di bulan Januari
1909 kran air di gudang bawah milik Nijhof di Kota Zutphen,
pecah. Gudang itu berisi dagangan berupa sejumlah kulit.
Kran induk ada di ruang atas yang disewa dan ditempati Nona
de Vries. Nona de Vries menolak menutup kran tersebut,
sehingga gudang Nijhof kebanjiran dan barang dagangannya
rusak.
Asuransi menutup kerugian Nijhof, tetapi kemudian
pihak asuransi menuntut ganti kerugian kepada Nona de Vries
atas dasar perbuatan melawan hukum. Nona de Vries menolak
pendirian bahwa dia telah melakukan perbuatan melawan
hukum.
Gugatan tersebut ditolak di tingkat kasasi, karena Hoge
Raad berpendirian sikap pasif Nona de Vries bukan merupakan
pelanggaran terhadap hak subjektif Nijhof, dan bukan pula
sebagai perbuatan melanggar undang-undang/ melawan
hukum. Putusan ini juga sering disebut sebagai Zutphense
Juffrouw Arrest.
20
Perkembangan yang spektakuler dan monumental
terhadap pengertian „perbuatan melawan hukum‟ terjadi pada
19
Moegni Djojodirdjo: op cit, hal. 20; Setiawan, op cit, 1977, hal. 75.;
Rachmat Setiawan: op cit, hal.8 – 9.
20
Setiawan: Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata,cet. I,
1992, Alumni, Bandung, hal. 248; Moegni Djojodirdjo, op cit, hal.20. Mahkamah
Agung R.I.: Rangkuman Sidang Paripurna Penemuan Hukum dan
Pemecahan Masalah Hukum; 1995, hal.20 H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi 13
tahun 1919 dengan Putusan Hoge Raad dalam kasus Linden-
baum lawan Cohen pada tanggal 31 Januari 1919, yang
terkenal dengan nama Standaard Arrest atau Drukkers Arrest
(Putusan tentang Percetakan) , sebagai berikut.
Samuel Cohen dan Max Lindenbaum masing-masing
pengusaha percetakan. Pada suatu ketika, Cohen membujuk
salah seorang pegawai Lindenbaum untuk membocorkan
daftar nama pelanggan Lindenbaum dan daftar harga-harga,
dan menggunakan daftar tersebut untuk kemajuan usahanya
sendiri. Akibatnya usaha Lindenbaum mundur dan mengalami
kerugian.
Kecurangan ini akhirnya diketahui Lindenbaum dan dia
menuntut ganti rugi kepada Cohen atas dasar perbuatan
melawan hukum. Akan tetapi Cohen membantah gugatan itu
atas dasar pendapat bahwa dia tidak melakukan perbuatan
melawan hukum karena undang-undang tidak melarangnya.
Pengadilan tingkat pertama (Rechtbank) memenangkan
gugatan Lindenbaum, tetapi di tingkat banding dia dikalahkan
oleh Pengadilan Tinggi (Gerechtshof). Ditingkat kasasi kembali
Lindenbaum dimenangkan oleh Hoge Raad dengan alasan
bahwa pengadilan tinggi telah menafsirkan pengertian per-
buatan melawan hukum dalam arti yang sempit, yakni hanya
sekedar melawan undang-undang. Sedangkan menurut Hoge
Raad, pengertian perbuatan melawan hukum (onrecht-
matigedaad) harus diartikan sebagai berbuat atau tidak ber-
buat yang memperkosa hak orang lain, atau bertentangan
dengan kewajiban hukum si pembuat, atau kesusilaan, atau
kepatutan dalam masyarakat, baik terhadap diri atau benda
orang lain.
21
21
Setiawan: Pokok-Pokok Hukum Perikatan, op cit, hal. 77- 78.;
Moegni Djojo-dirdjo, op cit, hal.25- 26.; Rachmad Setiawan: op cit, hal. 10- 11.;
Mahkamah Agung R.I.: op cit; 1995, hal.21 H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi 14
Putusan Hoge Raad ini merupakan momentum terpen-
ting dalam sejarah perkembangan BW sejak berlakunya pada
tahun 1883, sehingga oleh Meijers putusan tersebut dinilai
sama bobotnya dengan menambahkan satu Buku pada BW22
.
Unsur-Unsur PMH. Berdasarkan perkembangan pe-
ngertian tentang perbuatan melawan hukum (PMH= onrecht-
matigedaad), di atas, maka terdapat empat kriteria dari per-
buatan melawan hukum itu, yakni :
(a) bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
(b) melanggar hak subjektif orang lain.
(c) Melanggar kaidah kesusilaan
(d) Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian,
serta kehati-hatian (pa-ti-ha).
23
Kriteria pertama di atas menentukan bahwa perbuatan
melawan hukum itu adalah perbuatan yang bertentangan de-
ngan kewajiban si pelaku. Tetapi tidak semua perbuatan yang
bertentangan dengan kewajiban si pelaku dapat dituntut ganti
kerugian. Untuk dapat dituntut ganti kerugian, disyaratkan:
(a). kepentingan penggugat benar-benar terkena/ teran-
cam oleh pelanggaran (PMH) tersebut. Seseorang yang
menerobos lampu merah, dia telah melakukan pelang-
garan undang - undang secara pidana, tetapi belum
dapat disebut melakukan PMH secara perdata selama
tidak ada orang yang dirugikan secara materiel.
(b). ke dua: kepentingan penggugat memang dilindungi
oleh kaidah / peraturan perundang-undangan yang
dilanggar itu (schutz-norm theorie).
Untuk memahami ini, perhatikan putusan Hoge Raad
yang terkenal dengan nama Tandartsen Arrest
22
Setiawan: Ibid, hal. 247.
23
Setiawan: Ibid,, hal. 251
H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi 15
(Putusan doker gigi) tanggal 17 Januari 1958 sebagai
berikut:
Di kota Tilburg, Belanda, pada waktu itu ada 15 orang
dokter gigi yang berpraktek di suatu jalan dengan izin
resmi pemerintah. Pada suatu waktu datang berprak-
tek di jalan tersebut, seorang tukang gigi yang ber-
praktek sebagai dokter gigi tanpa izin resmi. Praktek
tukang gigi ini laris yang mengakibatkan praktek
dokter gigi resmi menjadi sepi. Ketika ketahuan bahwa
tukang gigi ini berpraktek tanpa izin, maka dia
diadukan secara pidana dan digugat secara perdata.
Berdasar Pasal 436 NWvS (Pasal 512 KUHP) tukang
gigi tersebut dipidana karena terbukti bersalah menja-
lankan pekerjaan tanpa izin yang menurut peraturan
perundang-undangan harus pakai izin. Bagaimana
dengan gugatan ganti rugi yang diajukan para dokter
gigi itu?. Pengadilan Tinggi menghukum tukang gigi
itu untuk mengganti kerugian karena dianggap telah
melakukan perbuatan melawan hukum dengan
pelanggaran terhadap Pasal 436 NWvS (Pasal 512
KUHP) di atas. Namun putusan ini dibatalkan oleh
Mahkamah Agung (Hoge Raad) dengan alasan bahwa
peraturan yang dilanggar oleh tukang gigi tersebut
(Pasal 512 KUHP) diadakan dengan tujuan untuk
melindungi kesehatan masyarakat umum, bukan untuk
melindungi para dokter gigi tersebut terhadap per-
saingan curang. Seorang dokter gigi yang menurun
jumlah pasiennya karena praktek tak berizin dari si
tukang gigi tersebut, tidak dapat mengajukan tuntutan
ganti rugi atas dasar perlindungan yang diberikan oleh
Pasal 512 KUHP di atas. H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi 16
(c). kepentingan tersebut masuk dalam lingkup kepen-
tingan yang dimaksud untuk dilndungi oleh ketentuan
Pasal 1365 KUHPdt. tersebut;
(d). pelanggaran kaidah tersebut bertentangan dengan
kepatutan terhadap penggugat dengan juga memper-
hatikan sikap dan kelakuan si penggugat itu sendiri;
(e). tidak ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf
menurut hukum.
24
Selanjutnya, mengenai hak subjektif orang lain, ber-
dasar yurisprudensi mencakup:
(a). hak-hak kebendaan serta hak-hak absolute lainnya
seperti hak eigendom (hak milik), erfpacht (hak guna
usaha), hak oktroi (hak yang diberikan atas permohonan
kepada seseorang yang menemukan sesuatu/ hal yang
baru), dan sebagainya.
(b). hak-hak pribadi (hak integritas pribadi dan integritas ba-
daniah, kehormatan serta nama baik, dsb.).
(c). hak-hak khusus, seperti hak penghunian yang dimiliki
seorang penyewa.
Kriteria ke tiga dari PMH adalah pelanggaran terhadap
kaidah kesusilaan, yakni kaidah-kaidah moral sejauh yang
diterima oleh masyarakat sebagai kaidah hukum tidak tertulis
(perhatikan kasus Lindenbaum versus Cohen di atas).
Kriteria ke empat juga diambil dari kaidah tidak
tertulis, suatu perbuatan atau tidak berbuat digolongkan
kepada perbuatan melawan hukum jika bertentangan dengan
kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya
dimiliki seseorang dalam pergaulannya dengan sesama warga
masyarakat atau terhadap barang milik orang lain.
24
Setiawan: Ibid, hal. 253
H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi 17
Untuk memahami kriteria ke empat ini, marilah
diperhatikan kasus sebagai berikut. Pada suatu hari tanggal 6
Juni 1975, de Rijk seorang petugas pemungut sampah
Kotamadya Kamerik, Belanda, seperti biasa mengumpulkan
kantong-kantong sampah dari pinggir-pinggir jalan dan
melemparkannya ke atas truk yang dikemudikan oleh teman-
nya. Malang baginya ketika mesin pengepres di atas truk
bekerja, dari salah satu kantong sampah tersebut menyembur
cairan yang mengenai matanya yang mengakibatkannya buta
sebelah. Ternyata dalam salah satu kantong sampah tersebut
ada ember plastik kecil berisi cairan natroonlog, sejenis zat
kimia untuk pembersih yang berbahaya bagi mata manusia.
Hasil penyelidikan menemukan bahwa ember cairan
ter-sebut berasal kantor Balaikota yang sehari sebelumnya
mela-kukan pembersihan. Petugas kebersihan kantor tersebut
mene-mukan sebuah ember plastik kecil berisi cairan yang
telah berada disana kurang lebih dua tahun dan tidak pernah
dipergunakan. Petugas kebersihan tersebut menyangka ember
tersebut berisi soda dan meminta izin kepada pengawas di
balaikota tersebut untuk membuangnya. Pengawas itu mem-
beri izin. Pengawas tersebut baru bekerja di kantor itu sejak
November 1974, dan juga tidak tahu apa isi ember plastik
tersebut. Petugas kebersihan setelah memperoleh izin,
memasukkan ember tersebut ke kantong sampah dan
meletakkannya di halaman kantor seperti biasanya.
Dalam persidangan, Hoge raad menyatakan petugas
keber-sihan dan pengawas kantor Balaikota tersebut telah
melakukan perbuatan melawan hukum karena tindakannya
dianggap berten-tangan dengan kepatutan, ketelitian dan
kehati-hatian.
25
25
Setiawan; Aneka masalah…; op cit, hal. 267- 268. H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi 18
Berdasarkan uraian di atas, dan bunyi Pasal 1365
KUHPdt. maka suatu tuntutan ganti rugi akibat perbuatan
melawan hukum (PMH= onrechtmatigedaad), haruslah meme-
nuhi unsur- unsur sebagai berikut:
(1) adanya perbuatan melawan hukum
(2) harus ada kerugian yang ditimbulkan
(3) harus ada hubungan kausalitas (sebab akibat) antara
perbuatan melawan hukum dan kerugian.
(4) harus ada kesalahan
(5) Schutznorm.
26
Alasan Pembenar (Rechtvaardigingsgronden).
Seperti juga dalam tindakan pidana, meskipun terbukti mela-
kukan perbuatan melawan hukum (PMH) seseorang tidak
dapat dituntut jika ada alasan yang membenarkan tindakan-
nya. Alasan pembenar yang menghilangkan sifat melawan
hukum dari perbuatan itu, yakni:
(1) Keadaan memaksa (overmacht) (Pasal 1245
KUHPdt.).
(2) Pembelaan terpaksa (noodweer)
(3) Melaksanakan undang- undang;
(4) Perintah atasan.
27
Alasan Pemaaf (Schulduitsluitingsgronden).
Adalah hal-hal yang menghilangkan sifat bersalah dari
pelaku, sehingga pelaku tidak dapat dapat dimintai per-
tanggung-jawaban. Alasan pembenar di atas juga dapat men-
jadi alasan pemaaf.
26
Setiawan: Pokok-Pokok Hukum Perikatan, op cit, hal. 73;
Mahkamah Agung R.I.: op cit; 1995, hal.21
27
Rachmat Setiawan, op cit, hal. 15- 17 H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi 19
Perbuatan Melawan Hukum oleh Badan Hukum.
Praktek peradilan menerima bahwa badan hukum (recht-
persoon) dapat melakukan perbuatan melawan hukum (on-
rechtmatigedaad) oleh karenanya dapat dimintai pertang-
gungjawaban berdasar Pasal 1365 KUHPdt. Dalam berbuat ,
tindakan badan hukum dilakukan oleh orang-orangnya atau
organnya. Tetapi tidak semua tindakan orang dari badan
hukum tersebut merupakan tindakan badan hukum, ber-
gantung pada bentuk hubungan antara orang tersebut dengan
badan hukum itu28
Secara singkat, pertanggungjawaban tersebut dapat
dirinci sebagai berikut:
(1) Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh organ badan hukum, pertanggungjawabannya
didasarkan pada Pasal 1365 KUHPdt.
(2) Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh seorang wakil dari badan hukum yang mem-
punyai hubungan kerja dengan badan hukum itu,
dapat dipertanggungjawabkan berdasar Pasal 1367
KUHPdt.
(3) Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh organ yang memunyai hubungan kerja dengan
badan hukum, untuk pertanggungjawabannya dapat
dipilih Pasal 1365 atau Pasal 1367 di atas.
29
Wanprestasi (hasil yang buruk= breach of contract).
Sebagaimana telah disebutkan bahwa salah satu
sumber terjadinya perikatan adalah adanya persetujuan atau
perjanjian. Prestasi yang diharapkan dalam suatu perjanjian
28
Setiawan: Pokok-Pokok Hukum Perikatan, op cit, hal. 86
29
Setiawan: Pokok-Pokok Hukum Perikatan, op cit, hal. 87 H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi 20
sebagaimana telah disebutkan (Pasal 1234 KUHPdt) dapat
berbentuk:
(1) tindakan memberikan sesuatu (misalnya penyerahan hak
milik dalam jual beli, sewa menyewa dll),
(2) melakukan suatu perbuatan (misalnya melaksanakan
peker-jaan tertentu, dll) atau
(3) untuk tidak berbuat (misal: tidak akan membangun suatu
bangunan pada suatu bidang tanah tertentu, dll.).
Pasal 1234 KUHPdt.: Tiap- tiap perikatan adalah untuk : mem-
berikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat
sesuatu
Pasal 1313 KUHPdt.: Suatu persetujuan (perjanjian) adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih.
Pasal 1320 KUHPdt.:Untuk sahnya persetujuan-persetujuan (per-
janjian- perjanjian) diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Pasal1321 KHPdt: Tiada suatu kesepakatan yang sah apabila ke-
sepakatan itu diberikan karena kekhilafan,atau diperolehnya dengan
paksaan atau penipuan.
Pasal 1313 KUHPdt. menyatakan bahwa perjanjian
adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih meng-
ikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Sedangkan
tentang syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal
1320 KHPdt. yaitu:
1). Adanya kesepakatan. Untuk adanya kesepakatan diper-
lukan kemauan yang bebas. Dalam Pasal 1321 KUHPdt.
dinyatakan bahwa suatu perjanjian tidak mempunyai
kekuatan mengikat jika terkandung di dalamnya kekhi-
lafan (dwaling), paksaan (dwang) dan penipuan (bedrog).
Dalam hal ini berlaku asas kebebasan berkontrak (
beginsel der contractsvrijheid) yang diserap dalam Pasal
1338 KUHPdt. H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi 21
2). Kecakapan bertindak. Artinya keduabelah pihak yang
melakukan pernjanjian haruslah orang yang menurut
hukum dipandang cakap untuk bertindak sendiri. Dalam
Pasal 1130 KUHPdt. disebutkan orang-orang yang dipan-
dang tidak cakap bertindak hukum, adalah: orang di
bawah umur (minderjarig), orang yang dibawah peng-
awasan (curatele) dan perempuan yang telah kawin30
.
3). Atas suatu hal tertentu. Artinya, apa yang diperjanjikan
haruslah dinyatakan dengan cukup jelas atau tertentu.
Hal ini diperlukan untuk menetapkan kewajiban yang ber-
hutang jika terjadi perselisihan.
4). Sebab (kausa= tujuan= oorzaak) yang halal. Menurut
Subekti, berdasarkan riwayat, yang dimaksud dengan
kausa atau sebab yang dimaksudkan disini adalah
„tujuan’ dari perjanjian itu sendiri. Yakni apa yang
dikehendaki oleh kedua belah pihak dengan mengadakan
perjanjian itu sendiri
31
. Pasal 1335 KUHPdt. menyebutkan
bahwa suatu perjanjian yang tidak mempunyai kausa
atau dibuat dengan suatu kausa yang palsu atau
terlarang tidak mempunyai kekuatan hukum. Kausa yang
tidak diperbolehkan (tidak halal) adalah kausa yang
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau
ketertiban umum.
Selanjutnya, apabila suatu perjanjian tidak terpenuhi,
maka terjadilah apa yang disebut wanprestasi . Wanprestasi
adalah pelaksanaan perjanjian yang tidak tepat waktunya
atau dilakukan tidak menurut selayaknya atau tidak dilak-
sanakan sama sekali.
32
30
Ketentuan tentang perempuan yang telah nikah dianggap tidak
cakap bertindak (khusus bagi mereka yang tunduk pada BW), telah hapus
dengan lahirnya UU.No. 1 Tahun 1974.
31
Subekti, Pokok, op cite, hal.136-137.
32
Yahya Harahap: op cit., hal. 60. H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi 22
Dengan demikian wanprestasi dapat berbentuk:
a. debitur tidak memenuhi prestasi pada waktunya (ter-
lambat);
b. debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali;
c. debitur memenuhi prestasi dengan tidak baik (tidak
sesuai dengan yang diperjanjikan.
33
Apabila debitur melakukan wanprestasi, maka dia
dapat dituntut untuk:
1) pemenuhan perjanjian;
2) pemenuhan perjanian ditambah ganti rugi;
3) ganti rugi
4) pembatalan perjanjian timbal balik;
5) pembatalan dengan ganti rugi.
34
Kewajiban membayar ganti rugi (schade vergoeding)
tersebut tidak timbul seketika terjadi kelalaian, melainkan
baru efektif setelah debitur dinyatakan lalai (ingebrekestelling)
dan tetap tidak melaksanakan prestasinya. Hal ini diatur
dalam Pasal 1243 KHPdt.
Sedangkan bentuk pernyataan lalai tersebut diatur
dalam Pasal 1238 KUHPdt. yang pada pokoknya menyatakan:
a. Pernyataan lalai tersebut harus berbentuk surat perintah
atau akta lain yang sejenis , yaitu suatu salinan daripada
tulisan yang telah dibuat lebih dahulu oleh juru sita dan
diberikan kepada yang bersangkutan.
b. Berdasarkan kekuatan perjanjian itu sendiri.
c. Jika tegoran kelalaian sudah dilakukan barulah menyusul
peringatan atau aanmaning yang biasa disebut sommasi.
33
Setiawan: Pokok-Pokok Hukum Perikatan, op cit, hal. 13, 15.
34
Setiawan: Ibid, hal. 14. H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi 23
Somasi adalah peringatan agar debitur melaksanakan ke-
wajibannya sesuai dengan tegoran kelalaian yang telah
disampaikan kreditur kepadanya. Dalam somasi tersebut
kreditur menyatakan kehendaknya bahwa perjanjian harus
dilaksanakan dalam batas waktu yang tertentu.
35
Selanjutnya, dalam Pasal 1246 KUHPdt. diatur ganti
rugi apa saja yang dapat diminta kreditur atas dasar
wanprestasi tersebut; yakni:
(a) Ongkos (biaya)
(b) kerugian nyata yang diderita kreditur;
(c) keuntungan yang seharusnya akan diperoleh.
Pasal 1246 KUHPdt.: Biaya, kerugian dan bunga yang boleh dituntut
penggantiannya oleh orang yang punya pihutang, pada umumnya ter-
diri atas kerugian yang dideritanya dan keuntungan yang sedianya
harus dapat dinikmatinya, dengan tidak mengurangi pengecualian-
pengecualian serta perubahan-perubahan yang disebut di bawah ini
Yang dimaksud dengan ganti rugi adalah ganti dari
kerugian yang nyata yang diakibatkan langsung oleh wan-
prestasi berupa ongkos (kosten), kerugian (schaden) dan
bunga (interessen) (lihat Pasal 1246 dan Pasal 1248 KUHPdt).
Ganti rugi yang dapat dituntut adalah kerugian berupa
sejumlah uang, dan bentuk ganti ruginya haruslah berbentuk
sejumlah uang, tidak bisa lain.
36
Menurut Yahya Harahap, kerugian yang tidak bersifat
ekonomis, juga dapat dituntut dalam bentuk biaya pemulihan
berupa biaya pengobatan dan sejumlah uang bayaran sesuai
dengan cacat yang diderita, yang jumlah besarannya diukur
berdasarkan kedudukan dan kemampuan kedua belah fihak.
37
35
Yahya Harahap: op cit., hal. 62. Setiawan: Ibid, hal. 15-17.
36
Yahya Harahap: Ibid, hal. 66 - 67
37
Yahya Harahap: Ibid, hal. 68 H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi 24
Selanjutnya, disyaratkan kerugian yang dapat dituntut
haruslah kerugian yang menjadi akibat langsung dari wan-
prestasi. Artinya antara kerugian dan wanprestasi harus ada
hubungan sebab akibat. Dalam hal ini kreditur harus dapat
membuktikan:
a. besarnya kerugian yang dialami;
b. bahwa faktor penyebab kerugian tersebut adalah
wanprestasi karena kelalaian krediur, bukan karena faktor
diluar kemampuan debitur.
38
Apabila objek perjanjian berupa pembayaran sejumlah
uang, maka kerugian yang dapat dituntut akibat wanprestasi
adalah bunga menurut undang-undang (moratorium inte-
resse) sebagaimana disebut dalam Pasal 1250 KUHPdt., yang
besarnya berdasarkan Stb. 1848 n0. 22 jo. 1849 No. 63
sebesar 6 persen per tahun; dan dalam hal ini kreditur tidak
perlu/ tidak dibebani kewajiban pembuktian. Cukup jika debi-
tur telah nyata terlambat membayar, kreditur dapat menun-
tut ganti rugi berupa bunga.
39
Pasal 1250 KUHPdt.
Dalam tiap-tiap perikatan yang semata-mata berkaitan dengan
pembayaran sejumlah uang , penggantian biaya, kerugian dan bunga
sekedar disebabkan karena keterlamabatan pelaksanaannya, hanya
terdiri atas bunga yang ditentukan undang-undang dengan tidak
mengurangi peraturan perundangan yang khusus.
Hapusnya perikatan.
Dalam Bab Keempat Pasal 1381 KUHPdt. disebutkan bahwa
suatu perikatan itu hapus karena:
a). pembayaran
b). penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penyim-
panan atau penitipan (konsignasi).
38
Yahya Harahap: Ibid, hal. 71
39
Yahya Harahap: Ibid, hal. 65- 74 H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi 25
c). pembaharuan hutang (novasi).
d). perjumpaan hutang atau kompensasi. Kompensasi terjadi
jika dua orang saling bertemu masing-masing sebagai
debitur satu terhadap yang lain, sehingga keduanya saling
melunasi. Manfaat kompensasi adalah untuk peyederha-
naan pembayaran, serta kepastian pembayaran dalam
keadaan salah seorang debitur pailit.
40
e). percampuran hutang (konfusio), yakni bercampur atau
bertemunya kreditur dan debitur pada diri satu orang,
sehingga karenanya semua tagihan secara yuridis
terhapus (Pasal 1436 KUHPdt.). Konfusio terjadi karena
kewarisan (debitur menjadi ahli waris kreditur), karena
hibah wasiat (legataris)
, atau karena persetujuan jual beli
antara pewaris dengan ahli waris.
41
Pasal 1436 KUHPdt.).:
Apabila kedudukan-kedudukan sebagai orang yang berpihutang dan
orang yang berhutang berkumpul pada satu orang, maka terjadilah
demi hukum suatu percampuran hutang, dengan mana pihutang
dihapuskan.
f). penghapusan/pembebasan hutang; yakni tindakan (han-
deling) kreditur yang membebaskan kewajiban debitur
untuk memenuhi pelaksanaan perjanjian42
g). lenyapnya barang yang menjadi hutang, seperti diatur
lebih lanjut dalam Pasal 1444 dan 1445 KUHPdt. :
Pasal 1444 KUHPdt,: Jika barang tertentu yang menjadi bahan
(objek) persetujuan, musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau
hilang, sedemikian sehingga sama sekali tidak diketahui apakah
barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asalkan barang
itu musnah atau hilang di luar salahnya si berhutang (debitur) dan
sebelum dia dianggap lalai menyerahkannya.
Bahkan meskipn si berhutang (debitur) lalai menyerahkan sesu-
atu barang sedangkan ia tidak telah menanggung terhadap keja-
dian-kejadian yang tak terduga, perikatan menjadi hapus jika
40
Yahya Harahap; Ibid; hal. 150.
41
Yahya Harahap; Ibid; hal. 157.
42
Yahya Harahap; Ibid; hal. 159.. H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi 26
barangnya akan musnah secara yang sama ditangan si empunya
pihutang (kreditur), seandainya sudah diserahkan kepadanya. Si
berhutang (debitur) diwajibkan membuktikan kejadian tak terduga
yang diajukannya itu.
Dengan cara bagaimanapun suatu barang yang telah dicuri,
musnah atau hilang, maka hilangnya barang tersebut tidak sekali-
kali membebaskan orang yang mencuri barang tersebut dari
kewajibannya mengganti harganya.
Pasal 1445 KUHPdt.: Jika barang yang terhutang musnah, tak lagi
dapat diperdagangkan, atau hilang, diluar salahnya si berhutang
(debitur), maka si berhutang (debitur) jika dia mempunyai hak-hak
atau tuntutan-tuntuan gati rugi mengenai barang tersebut, diwajib-
kan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan itu kepada orang
yang menghutangkan padanya (kreditur)
Berdasar ketentuan di atas, maka lenyapnya barang yang
menjadi objek hutang baru dapat menghapuskan peri-
katan, apabila sesuai ketentuan Pasal 1444 di atas, yakni:
- musah atau lenyapnya barang bukan karena kesalahan
debitur melainkan karena suatu sebab diluar kekuasaan
debitur (overmacht).
- Kemusnahan terjadi sebelum jatuh tempo, jika sudah
jatuh tempo, maka ini menjadi masalah wan-prestasi.
- Menyimpang dari hal tersebut ialah jika seandainya
barang itu sudah diserahkan juga akan lenyap/ musnah/
rusak karena hal yang sama.
- Debitur berkewajiban membuktikan sebab kemusnahan
barang tersebut.
- Jika barang itu musnah ditangan pencuri, maka pencuri
tetap berkewajiban mengganti harga barang tersebut.
- Jika atas barang yang hilang/musnah melekat hak-hak
dan tuntutan-tuntutan ganti rugi (tagihan asuransi),ma-
ka debitur berkewajiban menyerahkan hak-hak dan
tuntutan- tuntutan ganti rugi tersebut kepada kreditur
43
h). Hapusnya perjanjian karena lampau waktu (verjaring).
Perbedaan PMH dan Wanprestasi.
43
Yahya Harahap; Ibid; hal. 164- 167.. H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi 27
(1). PMH lahir dari perikatan karena undang-undang, sedang-
kan wanprestasi lahir dari perikatan karena perjanjian.
(2). Akibat akhir dari PMH adalah pemulihan keadaan seperti
semula dan ganti rugi, sedangkan akibat akhir dari wan-
prestasi adalah pelaksanaan prestasi dan ganti rugi.
(3). Bentuk PMH adalah perbuatan melawan kewajiban hu-
kumnya, atau melanggar hak subjektif orang lain, atau
melanggar kesusilaan atau melanggar kepatutan, keteli-
tian, dan kehati-hatian. Sedangkan bentuk wanprestasi
adalah keterlambatan, tidak sesuai dengan isi perjanjian
atau tidak melaksanakan perjanjian.
Penutup
Demikianlah uraian dasar dari pengertian perbuatan
melawan hukum dan wanprestasi, yang diakui masih banyak
kekurangannya. Namun dengan uraian yang masih elementer
ini, diharapkan dapat merangsang para hakim untuk mempe-
lajarinya lebih mendalam, sebagai persiapan memahami dan
mengadili sengketa di bidang ekonomi syariah. Semoga.
◊◊◊
H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi 28
DAFTAR RUJUKAN
Mahkamah Agung R.I: Rangkuman Sidang Paripurna
Pene-muan Hukum dan Pemecahan masalah
Hukum, 1995, MARI, Jakarta.
Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, cet. II.,
1982, Pradnya Paramita, Jakarta.
Paul Scholten, Mr.C.Accer, Penuntun dalam Mempelajari
Hukum Perdata Belanda, Bagian Umum, 1992,
Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan
Melawan Hukum, cet. I, 1991, Binacipta, Bandung.
Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara
Perdata, cet. I, 1992, Alumni, Bandung.
Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, cet. I, 1977,
Bina-cipta, Bandung.
Soedaryo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
cet. I, 1996, Sinar Grafika, Jakarta.
Sri Soedewi, Hukum Perdata: Huku Benda, cet. Ke 4, 1981
Liberty, Ygyakarta.
Subekti, Pokok- PokokHukum Perdata, cet. ke -31 ,2003,
PT. Intermasa, Jakarta.
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum
Per-data, cet. Ke 23, 1990, Pradnya Paramita,
Jakarta.
Yahya Harahap, Segi- Segi Hukum Perjanjian, cet. II,
1986, Alumni, Bandung.
Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, jilid II, cet. I,
1984, Rajawali, Jakarta.
◊
◊◊◊