twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Senin, 21 Maret 2011

Perbuatan Melawan Hukum (HUKUM PERIKATAN)


meskipun dunia ini akan runtuh hukum harus ditegakan

 


Perbuatan Melawan Hukum

Perspektif Hukum Perdata
Pasal 1365 BW yang terkenal sebagai pasal yang mengatur tentang perbuatan melawan hukum memegang peranan penting dalam hukum perdata.
Dalam pasal 1365 BW tersebut memuat ketentuan sebagai berikut :
“Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian”
Dari pasal tersebut dapat kita lihat bahwa untuk mencapai suatu hasil yang baik dalam melakukan gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum maka harus dipenuhi syarat-syarat atau unsur-unsur sebagai berikut :
  1. Perbuatan yang melawan hukum, yaitu suatu perbuatan yang melanggar hak subyektif orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat sendiri yang telah diatur dalam undang-undang[1]. Dengan perkataan lain melawan hukum ditafsirkan sebagai melawan undang-undang.
  2. Harus ada kesalahan, syarat kesalahan ini dapat diukur secara :
  • Obyektif yaitu dengan dibuktikan bahwa dalam keadaan seperti itu manusia yang normal dapat menduga kemungkinan timbulnya akibat dan kemungkinan ini akan mencegah manusia yang baik untu berbuat atau tidak berbuat.
  • Subyektif yaitu dengan dibuktikan bahwa apakah si pembuat berdasarkan keahlian yang ia miliki dapat menduga akan akibat dari perbuatannya.
Selain itu orang yang melakukan perbuatan melawan hukum harus dapat dipertanggungjawaban atas perbuatannya, karena orang yang tidak tahu apa yang ia lakukan tidak wajib membayar ganti rugi.
Sehubungan dengan kesalahan in terdapat dua kemungkinan :
·          
    • Orang yang dirugikan juga mempunyai kesalahan terhadap timbulnya kerugian. Dalam pengertian bahwa jika orang yang dirugikan juga bersalah atas timbulnya kerugian, maka sebagian dari kerugian tersebut dibebankan kepadanya kecuali jika perbuatan melawan hukum itu dilakukan dengan sengaja[2].
    • Kerugian ditimbulkan oleh beberapa pembuat. Jika kerugian itu ditimbulkan karena perbuatan beberapa orang maka terhadap masing-masing orang yang bertanggung jawab atas terjadinya perbuatan tersebut dapat dituntut untuk keseluruhannya.[3]
3. Harus ada kerugian yang ditimbulkan. Dalam pengertian bahwa kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum dapat berupa :
  • Kerugian materiil, dimana kerugian materiil dapat terdiri dari kerugian yang nyata-nyata diderita dan keuntungan yang seharunya diperoleh. Jadi pada umumnya diterima bahwa si pembuat perbuatan melawan hukum harus mengganti kerugian tidak hanya untuk kerugian yang nyata-nyata diderita, juga keuntungan yang seharusnya diperoleh.
  • Kerugian idiil, dimana perbuatan melawan hukum pun dapat menimbulkan kerugian yang bersifat idiil seperti ketakutan, sakit dan kehilangan kesenangan hidup.
Untuk menentukan luasnya kerugian yang harus diganti umumnya harus dilakukan dengan menilai kerugian tersebut, untuk itu pada azasnya yang dirugikan harus sedapat mungkin ditempatkan dalam keadaan seperti keadaan jika terjadi perbuatan melawan hukum. Pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi tidak hanya kerugian yang telah ia derita pada waktu diajukan tuntutan akan tetapi juga apa yang ia akan derita pada waktu yang akan datang.
4. Adanya hubungan causal antara perbuatan dan kerugian. Untuk memecahkan hubungan causal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian, terdapat dua teori yaitu :
  • Condition sine qua non, dimana menurut teori ini orang yang melakukan perbuatan melawan hukum selalu bertanggung jawab jika perbuatannya condition sine qua non menimbulkan kerugian (yang dianggap sebagai sebab dari pada suatu perubahan adalah semua syarat-syarat yang harus ada untuk timbulnya akibat).
  • Adequate veroorzaking, dimana menurut teori ini si pembuat hanya bertanggung jawab untuk kerugian yang selayaknya dapat diharapkan sebagai akibat dari pada perbuatan melawan hukum.
Terdapat hubungan causal jika kerugian menurut aturan pengalaman secara layak merupakan akibat yang dapat diharapkan akan timbul dari perbuatan melawan hukum.[4]
Jadi secara singkat dapat diperinci sebagai berikut :
  • Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh organ badan hukum, pertanggungjawabannya didasarkan pada pasal 1364 BW.
  • Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seorang wakil badan hukum yang mempunyai hubunga kerja dengan badan hukum, dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan pasal 1367 BW.
  • Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh organ yang mempunyai hubungan kerja dengan badan hukum, pertanggung jawabannya dapat dipilih antara pasal 1365 dan pasal 1367 BW
Perspektif Hukum Pidana
Dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum saja, perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan pidana.
Langemeyer mengatakan untuk melarang perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum, yang tidak dipandang keliru, itu tidak masuk akal”. Mengenai ukuran daripada keliru atau tidaknya suatu perbuatan tersebut ada dua pendapat yaitu :
  1. Yang pertama ialah apabila perbuatan telah mencocoki larangan undang-undang maka disitu ada kekeliruan. Letak perbuatan melawan hukumnya sudah ternyata, dari sifat melanggarnya ketentuan undang-undang kecuali jika termasuk perkecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang pula. Dalam pendapat pertama ini melawan hukum berarti melawan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang. Pendirian yang demikian disebut pendirian yang formal.
  2. Yang kedua berpendapat bahwa belum tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undang-undang bersifat melawan hukum, karena menurut pendapat ini yang dinamakan hukum bukanlah undang-undang saja, disamping undang-undang (hukum yang tertulis) adapula hukum yang tidak tertulis yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat. Pendirian yang demikian disebut pendirian yang materiil.
Yang berpendapat formal untuk dapat dipidana perbuatan harus mencocoki rumusan delik yang tersebut dalam wet, jika sudah demikian biasanya tidak perlu lagi untuk menyelidiki apakah perbuatan melawan hukum atau tidak.
Selanjutnya menurut Simons[5] “hemat saya pendapat tentang sifat melawan hukum yang materiil tidak dapat diterima, mereka yang menganut faham ini menempatkan kehendak pembentuk undang-undang yang telah ternyata dalam hukum positif, dibawah pengawasan keyakinan hukum dari hakim persoonlijk. Meskipun betul harus diakui bahwa tidak selalu perbuatan yang mencocoki rumusan delik dalam wet adalah bersifat melawan hukum, akan tetapi perkecualian yang demikian itu hanya boleh diterima apabila mempunyai dasar hukum dalam hukum positif sendiri”.
Kiranya perlu ditegaskan disini bahwa dimana peraturan-perautan hukum pidana kita sebagian besar telah dimuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan laian-lain perundang-undangan, maka pandangan tentang hukum dan sifat melawan hukum materiil diatas hanya mempunyai arti dalam memperkecualikan perbuatan yang meskipun masuk dalam perumusan undang-undang itu toh tidak merupakan perbuatan pidana.
Akan tetapi jika kita mengikuti pandangan yang materiil maka bedanya dengan pandangan yang formal adalah :
  • Mengakui adanya pengecualian atau penghapusan dari sifat melawan hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis, sedangkan pandangan yang formal hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja.
  • Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan perbuatan pidana juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut, sedang bagi pandanagan yang formal sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur daripada perbuatan pidana, hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata nyata barulah menjadi unsur delik.
Dengan mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu menjadi unsur perbuatan pidana, ini tidak berarti bahwa karena itu harus selalu dibuktikan adanya unsur tersebut oleh penuntut umum. Soal apakah harus dibuktikan atau tidak, adalah tergantung dari rumusan delik yaitu apakah dalam rumusan unsur tersebut disebutkan dengan nyata-nyata, jika dalam rumusan delik unsur tersebut tidak dinyatakan maka juga tidak perlu dibuktikan.
Adapun konsekuensi daripada pendirian yang mengakui bahwa  sifat melawan hukum selalu menjadi unsur tiap-tiap delik adalah sebagai berikut :
-   Jika unsur melawan hukum tidak tersebut dalam rumusan delik maka unsur itu dianggap dengan diam-diam telah ada, kecuali jika dibuktikan sebaliknya oleh pihak terdakwa.
-   Jika hakim ragu untuk menentukan apakah unsur melawan hukum ini ada atau tidak maka dia tidak boleh menetapkan adanya perbuatan pidana dan oleh karenanya tidak mungkin dijatuhi pidana.
Menurut Jonkers dan Langemeyer dalam hal iu terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van recht vervolging).
Perspektif Hukum Administrasi Negara
“Perbuatan hukum adalah perbuatan yang mengakibatkan peristiwa hukum,  secara yuridis dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu :
  • Yang bersifat perdata
Pihak aparat atau penguasa atau administrasi dapat bertindak sebagai salah satu pihak dalam perjanjian perdata atau sebagai individu perdata yang dapat membuat kontrak untuk melakukan perbuatan tertentu.
Contoh : tender pengadaan bangunan atau kontrak perjanjian.
  • Yang bersifat publik
Bersegi satu atau sepihak
Unsur dalam membuat ketentuan secara sepihak yaitu :
-   Dilakukan oleh administrasi Negara.
-   Berdasarkan kekuasaan istimewa.
-   Demi kepentingan umum.
Contoh : secara sepihak pihak yang berwenang berhak untuk menutup pabrik yang melanggar IPAL.
Bersegi dua atau dua pihak
Yaitu perbuatan hukum dimana terjadi perjanjian atau kesepakatan atau penyesuaian kehendak antara kedua belah pihak yang hubungan hukumnya tersebut diatur oleh hukum istimewa yaitu hukum publik.
Dalam hukum administrasi Negara perbuatan atau keputusan yang sewenang-wenang adalah suatu perbuatan atau keputusan administrasi Negara yang tidak mempertimbangkan semua faktor yang relevan dengan kasus yang bersangkutan secara lengkap dan wajar sehingga tampak atau terasa oleh orang-orang yang berpikir sehat (normal) adanya ketimpangan.
Sikap sewenang-wenang akan terjadi bilamana pejabat administrasi Negara yang bersangkutan menolak untuk meninjau kembali keputusannya yang oleh masyarakat yang bersangkutan dianggap tidak wajar. Keputusan tersebut dapat digugat pada Pengadilan Perdata sebagai “perbuatan melawan hukum” atau “onrechmatige over heidsdaad”.
Didalam hukum admininstrasi Negara Inggris-Amerika Serikat asas yang sangat penting dan dibahas secara luas adalah asas larangan “ultra vires” yakni penyalahgunan jabatan atau wewenang dalam segala bentuk. Di Indonesia istilah yang dipergunakan adalah “detournement de pouvoir” yakni bilamana suatu wewenang oleh pejabat yang bersangkutan dipergunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan atau menyimpang daripada apa yang dimaksudkan atau dituju oleh wewenang sebagimana ditetapkan atau ditentukan oleh undang-undang (dalam arti luas, dalam arti materiil) yang bersangkutan.

[1] Rumusan Hoge Raad sebelum tahun 1919
[2] Vollmar, op. cit. halaman 458
[3] Vollmar, loc. cit
[4] Voolmar, Ibid 457
[5] Moeljatno, Azas-azsas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. 2002. halaman 132
MEMBEDAH PERBUATAN MELAWAN HUKUM DAN
WANPRESTASI
(Sebuah Kajian Elementer Hukum Normatif)

--------------------------------------------------------------
Drs.H.A.Mukhsin Asyrof, SH.,MH.



Pendahuluan. 
  Undang-Undang  Nomor  3  Tahun  2006  yang  merubah
dan menambah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan  Agama,    telah  memberikan  kewenangan  baru  ,
disamping  memantapkan  kewenangan  yang  lama,  kepada
Badan  Peradilan  Agama.  Kewenangan  baru  itu  ialah  kewe-
nangan  untuk  mengadili  dan  menyelesaikan  sengketa  di
bidang  ekonomi  syariah  termasuk  di  dalamnya  sengketa
perbankkan syariah.
  Dalam  Pasal  49  Undang-Undang  Nomor  3  Tahun  2006
disebutkan:  “Pengadilan  agama  bertugas  dan  berwenang
meme-riksa, memutus,  dan menyelesaikan  perkara  ditingkat
pertama antara orang-orangyang bergama Islam di bidang:
a.  Perkawinan;
b. Waris;
c.  Wasiat; 
d.  Hibah;
e.  Wakaf;
f.  Zakat;
g.  Infak;
h.  Shadaqah; dan
i.  Ekonomi syariah.”
                                                
    Disampaikan  pada  Penyegaran  Tehnis  Judisial  Hakim  Pengadilan  Agama  Se
Wilayah  Pengadilan  Tinggi Agama Pekanbaru  di Tanjungpinang,  Kepulauan  Riau  tgl.  16-18
Januari 2008 dan di Tembilahan, Riau, tgl. 11- 13 Februari 2008, dengan sedikit perubahan.
◊ KPTA Pekanbaru H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi  2
Dalam  penjelasan  terhadap  Pasal  49  tersebut  ditegas-
kan  bahwa:  “Penyelesaian  sengketa  tidak  hanya  dibatasi  di
bidang  perbankkan  syariah,  melainkan  juga  di  bidang
ekonomi syariah lainnya”.
Yang  dimaksud  dengan  “antara  orang-orang  yang
beragama  Islam”  adalah  termasuk  orang atau  badan  hukum
yang  dengan  sendirinya  menundukkan  diri  dengan  sukarela
kepada  hukum  Islam  mengenai  hal-hal  yang  menjadi
kewenangan Peradilan Agama  sesuai dengan ketentuan Pasal
ini.
Selanjutnya,  dalam  Penjelasan  Pasal  49  huruf  (i)
dijelaskan: Yang dimaksud dengan “ekonomi syariah” adalah
perbuatan  atau  kegiatan  usaha  yang  dilaksanakan  menurut
prinsip syariah, antara  lain meliputi: bank  syariah;  lembaga
keuangan  mikro  syariah;  asuransi  syariah;  reasuransi
syariah;  reksadana  syariah;  obligasi  syariah  dan  surat
berharga  berjangka  menengah  syariah;  sekuritas  syariah;
pembiayaan  syariah;  pegadaian  syariah;  dana  pensiun
lembaga keuangan syariah;dan bisnis syariah.
Sudah  seharusnya, kewenangan baru  ini dipelajari dan
difahami  benar  oleh  para  hakim  Peradilan  Agama  secara
bersungguh  sungguh.  Pemilihan  materi  penyegaran  dengan
pokok  bahasan  perbuatan melawan  hukum  dan  wanprestasi,
adalah  dalam  rangka  mengawali  kegiatan  studi  ekonomi
syariah, sebagai langkah persiapan mengemban kewenangan
baru tersebut.
Seperti  diketahui,  sengketa  ekonomi  syariah,  khusus-
nya  perbankkan  syariah,  dalam  sistimatika  hukum  perdata
terutama  berada  dalam  lingkup  Buku  III  Kitab  Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPdt= Burgerlijke Wetboek= BW)
tentang  perikatan  (van  Verbintenissen)    disamping  Buku  II H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi  3
Kitab  Undang-Undang  Hukum  Perdata  (KUHPdt=  Burgerlijke
Wetboek=  BW)  tentang  benda  (van  Zaken),  serta  Buku  III
Kitab Undang- Undang  Hukum Dagang (KUHD= Wetboek van
Kophandel) tentang Kepailitan. Sedangkan bagian pokok dari
hukum perikatan khususnya yang berkaitan dengan sengketa
ekonomi  syariah adalah  tentang  perbuatan melawan  hukum
(PMH) dan wanprestasi.

Sistimatika Hukum Perdata Materiel. 
  Sebelum  mengkaji  lebih  lanjut,  tentang  perbuatan
melawan hukum dan wanprestasi, dipandang perlu mengkaji
ulang  sistimatika  hukum  perdata,  agar  pengetahuan  kita
tentang  perbuatan melawan  hukum  dan  wanprestasi  berada
dalam suatu bingkai yang utuh dan sistimatis.
  Menurut Prof. Dr. Ny. Sri Soedewi,SH, (Hukum Perdata,
Hu-kum Benda, hal. 1) , hukum perdata  adalah hukum yang
meng-atur  kepentingan  antara  warganegara  perseorangan
yang satu dengan warganegara perseorangan yang lain. 
Dapat  pula  disebutkan  bahwa,  hukum  perdata  (hukum
privat  /hukum  sipil) adalah aturan-aturan atau norma-norma
yang  mengatur  hubungan  antar  perorangan  dalam  masya-
rakat dalam bentuk hak dan kewajiban yang pemenuhannya
dapat dipaksakan dengan bantuan penguasa. 
  Hukum  perdata  mempunyai  dua  pengertian:  luas  dan
sempit.  Dalam  pengertian  yang  luas  dia  mencakup  hukum
perdata  dalam  arti  sempit  ditambah  hukum  dagang.  Hukum
dagang  sumber  utamanya  adalah  KUHD  (Wetboek  van
Kophandel= W.v.K.). 
Selanjutnya  hukum  perdata  dalam  arti  sempit  hanya
mencakup  hukum  perdata  saja  sebagai  lawan  dari  hukum
dagang, yang   dapat dibedakan kepada hukum perdata mate-
riel  yang  bersumber  pokok  pada  KUHPdt  (Kitab  Undang-H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi  4
Undang  Hukum  Perdata=  Burgerlijke  Weboek=  BW);
dan
hukum  perdata  formeel  (hukum  acara  perdata)  yang
bersumber pada HIR (Herziene Indo-nesische Reglement) dan
RBg. (Reglement Buiten Gewesten)
.
Pokok bahasan kita ada pada hukum perdata materiel. 
Dalam  sisitimatika  KUHPdt.  (BW)  hukum  perdata  materiel
terbagi dalam empat buku, yakni:
a.  Buku  I  tentang  orang  (van  personen)  yang  berisi
hukum  perorangan  (personen  recht)  dan  hukum
keluarga (familie recht)
b.  Buku  II  tentang benda  (van  zaken) yang berisi  hukum
kebendaan  (zakenrecht)  dan  hukum  kewarisan
(erfrecht);
c.  Buku  III  tentang  perikatan/  perutangan  (van  verbin-
tenissen);
d.  Buku IV tentang bukti dan kedaluwarsa (van bewijs en
verjaring)2
.
Menurut  sistimatika  ilmu  hukum,  hukum  perdata
materiel   terdiri dari:
a.  Hukum  perorangan/  badan  pribadi  (personenrecht)  yakni
hukum  yang  mengatur  segala  sesuatu  tentang  pribadi/
manusia  sebagai  subjek  hukum,  seperti  tentang  subjek
hukum, kecakapan bertindak dalam hukum (melaksanakan
hak), kedewasaan, tempat tinggal/ domisili dll
b.  Hukum  Keluarga  (familierecht),  yakni  hukum  yang
mengatur  hubungan-hubungan  hukum  yang  timbul  dari
kehidupan  keluarga/rumahtangga,  seperti:  hukum  perka-
winan termasuk hubungan hukum kekayaan antara suami-
                                                
1
 Menurut Vollmar (I/ 1983),  hukum Acara Perdata masuk dalam kelompok
Hukum Perdata dalam arti luas (hal. 4), sedangkan menurut Ridwan Halim (1986;
hal. 12) masuk dalam kelompok Hukum Perdata dalam arti sempit.
2


Sebenarnya  bukti  dan  kedaluwarsaan  ini  masuk  hukum  perdata
formel.  H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi  5
isteri, kekuasaan orangtua (hubungan antara orangtua dan
anak), perwalian, curatele3
, perceraian dan sebagainya.
c.  Hukum  Harta  Kekayaan  (vermogensrecht)  yakni  hukum
yang mengatur  hubungan  hukum  yang  berkaitan  dengan
harta  kekayaan  dan  yang  berkaitan  dengan  itu  (hukum
perikatan).  Dengan  kata  lain mengatur  hubungan  hukum
yang dapat dinilai dengan uang. Jadi mencakup zakenrecht
dan verbintenissen-recht.
d.  Hukum  kewarisan  (erfrecht) yakni hukum yang mengatur
peralihan  harta  kekayaan  berkaitan  dengan  adanya
kematian.  Jadi  sebenarnya  hukum  kewarisan  berkaitan
erat  dengan  hukum  harta  kekayaan  (vermogensrecht)
yang  dihubungkan  dengan  hukum  kekeluargaan  (familie-
recht)  dan  kematian.  Dapat  juga  disebutkan  bahwa,
hukum  kewarisan  adalah  hukum  yang  mengatur  akibat
hubungan  keluarga  terhadap  harta  peninggalan
seseorang.
4


Hukum Perikatan (Perutangan/ Verbintenissenrecht)
  Dalam  bahasa  Indonesia,  Verbintenissenrecht  sering
disebut  hukum  perikatan  atau  hukum  perutangan.  Hukum
peri-katan  adalah  aturan  yang  mengatur  hubungan  hukum
dalam  lapangan  hukum  harta  kekayaan  (vermogen  recht)
antara dua orang atau lebih, yang memberi hak (recht) pada
salah pihak  (schuldeiser=  kreditur) dan memberi kewajiban
(plicht)  pada  pihak  yang  lain  (schuldenaar=  debitur)  atas
sesuatu prestasi.
 5

                                                
3
  Curatele= pengampuan terhadap orang dewasa yang dianggap tidak cakap bert indak
hukum, misalnya karena gila, boros dsb.
4
  Sri Sudewi; Hukum Perdata : Hukum Benda, 1981,   hal. 2; Subekti: Pokok-Pokok
Hukum Perdata; 2003, cet.  XXXI, PT. Intermasa, hal. 16- 17.
5
 Bandingkan: R.Setiawan,  Pokok-Pokok Hukum Perikatan, 1977, hal.
1-2.; Yahya Harahap: `Segi-Segi Hukum Perjanjian, 1986, II, Alumni, Bandung,
hal. 6.  H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi  6
Subjek  perikatan  adalah  mereka  yang  memperoleh
hak  (schuldeiser=  kreditur)  dan  mereka  yang  dibebani
kewajiban  (schuldenaar=  debitur)  atas  suatu  prestasi.  Pada
prinsipnya,  semua  orang,  baik  natuurlijke  persoon  maupun
rechts  persoon  (badan  hukum),  dapat  menjadi  subjek
perikatan.
  Objek perikatan (voorwerp der verbintenissen) adalah
hak  pada  kreditur  dan  kewajiban  pada  debitur  yang
dinamakan prestasi. Prestasi tersebut dapat berupa: 
(a). tindakan memberikan sesuatu (misalnya penyerahan hak
milik dalam jual beli, sewa menyewa dll), 
(b).  melakukan  suatu  perbuatan    (misalnya  melaksanakan
pekerjaan tertentu, dll) atau;
(c).  tidak  berbuat  (misal:  tidak  akan  membangun  suatu
bangunan pada suatu bidang tanah tertentu, dll.) (Baca:
Pasal 1234 KUHPdt.).
Pasal  1233:  Tiap-tiap  perikatan  dilahirkan  baik  karena  persetujuan,
maupun karena undang-undang. 
Pasal  1234:  Tiap-tiap  perikatan  adalah  untuk  memberikan  sesuatu,
untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
 6

Dalam  suatu  perikatan  pasti  terdapat  hak  dan  kewa-
jiban,  namun  tidak  semua  hak  dan  kewajiban  merupakan
perikatan dalam arti hukum. Perikatan adalah suatu hubungan
hukum   yang diatur dan diakui  hukum  (dalam Buku  II)  yang
berkaitan dengan  lingkup hukum  kekayaan  (vermogenrecht).
Hubungan hukum yang bersifat hukum keluarga (familierecht)
seperti  kewajiban  suami  isteri,  tidak  termasuk  dalam
perikatan.
7
 
                                                
6 Subekti, Tjitrosudibio; Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 1990,
cet. Ke 23; Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 269)
7  Dalam  suatu  diskusi  kecil,  diajukan  suatu pertanyaan,  apakah  seorang
suami  yang  tidak  membayar  nafkah  isteri  dapat  disebut  melakukan  suatu
perbuatan  melawan  hukum  (PMH).    Jawaban  sementara,  secara  yuridis,  tidak.
Karena  kewajiban  suami  isteri  berada  dalam  lingkup  familie  recht  (Buku  I),
sedangkan  perbuatan  melawan  hukum  berada  dalam  lingkup  hukum  perikatan
(verbintenissen recht= Buku  II).  H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi  7
Namun ada beberapa hubungan hukum dalam hukum
keluarga  yang  mempunyai  sifat  hukum  harta  kekayaan,
misalnya  wasiat,  sehingga memungkinkan  penerapan  keten-
tuan umum hukum perikatan (verbintenissen recht).
8

  Untuk menentukan apakah hubungan hukum itu masuk
dalam  hukum  perikatan  atau  tidak,  pada  umumnya  para
sarjana  menggunakan  ukuran  apakah  hubungan  hukum  itu
dapat  dinilai  dengan  sejumlah  uang,  yakni  apakah
kerugian  yang  diakibatkan    wanprestasi  atau  akibat  suatu
perbuatan melawan hukum itu dapat diukur dengan sejumlah
uang  atau  tidak,  (bernilai  ekonomis  atau  tidak).  Namun
demikian dalam perikatan ada  hubungan hukum    yang  tidak
dapat dinilai dengan uang, dan hal ini dianggap sebagai suatu
pengecualian.
 9

  Sumber perikatan. Hubungan hukum dalam perikatan
tidak  bisa    timbul  dengan  sendirinya,  melainkan  harus
didahului oleh adanya tindakan hukum (rech-handeling) yang
dilakukan pihak-pihak, sehingga menimbulkan hak di satu sisi
dan kewajiban pada pihak lain. Suatu perikatan terjadi karena
adanya  perjanjian  /  persetujuan  atau  karena  tindakan  yang
sesuai atau tidak sesuai dengan undang-undang. 
Dengan demikian, sumber perikatan itu ada dua, yakni:
perjanjian  dan  undang-undang  (Baca:  Pasal  1233  KUHPdt.di
atas). 
  Perikatan yang timbul karena undang-undang dibedakan
kepada dua macam:
a.  karena  undang-undang  saja,  adalah  perikatan  yang
timbul    oleh  hubungan  kekeluargaan,  yang  terdapat
pada  Buku  I  KUHPdt.,  seperti  kewajiban  alimentasi
(biaya  /tunjangan nafkah hidup  seperti dimaksud Pasal
                                                
8 Setiawan: op cit, hal. 2
9
 Setiawan: op cit, hal. 2 – 3. H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi  8
227  KUHPdt.  atau  biaya  pemeliharaan  dalam  Pasal  45
UU.No.1/  1974,  nafkah  cerai  dll.),  atau  kewajiban
seorang  anak  yang  mampu  untuk  memberi  nafkah
kepada orangtuanya yang miskin, dll.
10
 dan buren-recht
(hukum  berketetanggaan= Pasal  625  dst,  Buku  II  Bab
ke empat KUHPdt.).

Pasal  227KUHPdt.:  Kewajiban  memberi  tunjangan  nafkah
berakhir dengan meninggalnya si suami atau si  isteri. 
  
Pasal  625  KUHPdt.:  Antara  sesama  pemilik-  pemilik
pekarangan  yang  satu  dengan  yang  lain  bertetanggaan,  berlaku
beberapa  hak  dan  kewajiban,  baik  yang  berpangkal  pada  letak
pekarangan  mereka  karena  alam,   maupun  yang  berdasar  atas
ketentuan-ketentuan undang-undang. 


b.  Karena perbuatan manusia, yang dibagi dua, yakni:
(1).Perbuatan menurut hukum (misal: zaakwarneming11
 
=  perwakilan  sukarela  Psl.  1354-1358  KUHPdt;  on-
vershuldigde  betaling=pembayaran  yang  tidak  di-
wajibkan.
(2). Perbuatan melawan hukum (PMH).
 12


Sedangkan  perikatan  atas  dasar  persetujuan  atau  atas
dasar perjanjian juga pada dasarnya terbagi dua: yakni yang
dipenuhi, dan yang tidak dipenuhi (=wanprestasi).
Dalam bahasan kita sekarang ini yang akan dibicarakan
adalah,  perbuatan  melawan  hukum  dan  wanprestasi
karena  kedua  hal  inilah  yang  menjadi  sebab  terjadinya
sengketa di pengadilan dalam hukum perikatan.

                                                
10  Subeki, Pokok-Pokok Hukum Perdata, op cite, hal. 132.
11  Zaakwarneming adalah suau perbuatan, dimana seseorang secara suka-
rela menyediakan dirinya  untuk mengurus  kepentingan oranglain,  dengan  perhi-
tungan dan resiko untuk orang lain tersebut (Pasal 1354 KUHPdt)..
12
  Vollmar: Pengantar Studi Hukum Perdata, II, cet. I, 1984, Rajawali,
Jakar-ta, hal. 71- 72. Vide: Setiawan: Pokok-Pokok Hukum Perikatan,  cet.  I,
1977, Bina-cipta, Bandung, hal. 12- 13. H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi  9
Perbuatan Melawan Hukum (Onrechmatigedaad= o.d)
  Perkembangan  Pengertian  PMH.  Meskipun  Pasal
1365  dan  Pasal  1366  KUHPdt.  mengatur  tentang  tuntutan
ganti rugi akibat adanya perbuatan melawan hukum, namun,
kedua pasal  tersebut  tidak menyebutkan apa yang dimaksud
dengan  „perbuatan  melawan  hukum  itu.  Pengertian    „per-
buatan melawan hukum diperoleh melalui yurisprudensi, yang
menunjukkan adanya perkembangan penafsiran yang  sangat
penting dalam sejarah hukum perdata. Karena hukum perdata
kita  berasal  dari  hukum  perdata  Nederland/  Belanda,  maka
dalam penafsiran ini, kitapun masih harus berkiblat kesana.
  Kedua pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

Pasal  1365:  ”Tiap  perbuatan melanggar  hukum,  yang mem-
bawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang  yang
karena  salahnya  menerbitkan  kerugian  itu,  mengganti
kerugian tersebut”. 

Pasal  1366  :  “Setiap  orang  bertanggungjawab  tidak  saja  un-
tuk  kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi
juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau
kurang hati-hatinya”13



Menurut para ahli dalam Pasal  1365 di atas, mengatur
per-tanggungjawaban  yang  diakibatkan  oleh  perbuatan
melawan  hu-kum  baik  karena  berbuat  (positif  =  culpa  in
committendo)  atau  karena  tidak  berbuat  (pasif=  culpa  in
ommittendo). Sedangkan Pasal 1366 mengatur pertanggung-
jawaban  yang  diakibatkan  oleh  kesalahan  karena  kelalaian
(onrechtmatige nalaten).
14



                                                
13
   Subekti dan Tjitrosudibio: op cit, hal. 288- 289. 
14  Moegni  Djojodirdjo:  Perbuatan  Melawan  Hukum,  cet.  II,  1982, 
Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 27.  H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi  10

       















Moegni  Djojodirjo  dalam  bukunya  „Perbuatan  Melawan
Hukum  menyebutkan  bahwa,  perkembangan  penafsiran
penger-tian  „perbuatan  melawan  hukum  terbagi  dalam  tiga
fase, sebagai berikut:
a)  masa antara tahun 1838 sampai tahun 1883.
b)  Masa antara tahun 1883 sampai tahun 1919.
c)  Masa sesudah tahun 1919.
15

Adanya  kodifikasi  sejak  tahun  1838  membawa  peru-
bahan besar  terhadap pengertian perbuatan melawan  hukum
(onrecht-matigedaad)  yang diartikan pada waktu  itu  sebagai
on  wetmatigedaad  (perbuatan  melanggar  undang-undang)
yang berarti bahwa suatu perbuatan baru dianggap melanggar
hukum,  bilamana  per-buatan  tersebut  bertentangan  dengan
                                                
15
  Moegni Djojodirdjo: op cit, hal. 28 – 30.
PERIKATAN
(Psl. 1233 KUHPdt.)
PERJANJIAN
UNDANG-UNDANG
(Psl. 1352KUHPdt.)

UNDANG-UNDANG
DAN PERBUATAN
MANUSIA
(Psl. 1253KUHPdt.)

UNDANG-UNDANG
SAJA
PERBUATAN
MENURUT HUKUM
PERBUATAN
MELAWAN HUKUM
(Psl. 1365 KUHPdt.)

DIPENUHI
WANPRES-
TASI H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi  11
undang-undang.
16
  Pengertian  sempit  ini  sangat  dipengaruhi
oleh aliran legisme dalam filsafat hukum.
Setelah  tahun  1883  sampai  sebelum  tahun  1919,
pengertian  perbuatan  melawan  hukum  diperluas  sehingga
mencakup  juga  pelanggaran  terhadap  hak  subjektif  orang
lain17
.  Dengan  kata  lain,  perbuatan  melawan  hukum
(PMH) adalah berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan
dengan  kewajiban  hukum  si  pelaku  atau  melanggar  hak
subjektif orang lain.  Dalam hal ini, Pasal 1365 KUHPdt. diar-
tikan sebagai perbuatan/  tindakan melawan  hukum  (culpa  in
committendo)  sedangkan  Pasal  1366  difahami  sebagai
perbuatan melawan  hukum dengan  cara melalaikan  (culpa in
ommittendo),  meskipun  juga  diakui  dalam  Pasal  1365  juga
terdapat pengertian culpa in ommittendo .
18

Apabila  suatu  perbuatan  (berbuat  atau  tidak  berbuat)
tidak melanggar hak  subjektif orang lain atau tidak melawan
kewajiban hukumnya/ tidak melanggar undang-undang, maka
perbuatan  tersebut  tidak  termasuk  perbuatan  melawan
hukum.  Pendirian  seperti  ini  terlihat  dalam  Putusan  Hoge
Raad (Mahkamah Agung Belanda) tentang Singernaiimachine
Mij  Arrest  tanggal  6  Januari  1905  dan  Waterkraan  Arrest
tanggal 10 Juni 1910.
Singernaaimachine Mij Arrest, 6 Januari 1905.
Maatschappij  Singer  yang  menjual  mesin  jahit  merk
Singer tersaingi oleh toko lain yang menjual mesin jahit merk
lain  yang  berada  diseberang  jalan,  dengan  cara  memasang
reklame  di  depan  tokonya  berbunyi  “Verbeterde  Singernaai-
machine  Mij”  (Tempat Perbaikan  Mesin  Jahit  Singer).  Akibat
reklame  ini, orang menyangka bahwa  toko  tersebut menjual
                                                
16


Moegni Djojodirdjo: op cit, hal. 28, 

17
  Apa yang dimaksud dengan ‘hak subjektif’  lihat  di bawah. 
18
  Moegni Djojodirdjo: op cit, hal. 28- 30, vide: Rachmat Setiawan:
Tinjauan Elementer Perbuatan Melanggar Hukum, cet. I, 1991, Binacipta,
Bandung, hal. 7.  H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi  12
mesin  jahit merk  Singer yang asli, sehingga  toko Singer asli
menjadi sepi pembeli.
Toko  Singer  asli  menuntut  toko  penjual  mesin  jahit
palsu  tersebut  berdasarkan  Pasal  1401  NBW/  Pasal  1365
KUHPdt., tetapi Hooge Raad menolak gugatan tersebut karena
berpendirian  toko  Singer  palsu  tersebut  tidak  melanggar
undang- undang maupun hak subjektif orang lain.
 19

Waterkraan Arrest tanggal 10 Juni 1910.
Pada suatu malam yang sangat dingin, di bulan Januari
1909 kran air di gudang bawah milik Nijhof di Kota Zutphen,
pecah.  Gudang  itu  berisi  dagangan  berupa  sejumlah  kulit.
Kran induk ada di ruang atas yang disewa dan ditempati Nona
de  Vries.  Nona  de  Vries  menolak  menutup  kran  tersebut,
sehingga gudang Nijhof kebanjiran dan barang dagangannya
rusak. 
Asuransi  menutup  kerugian  Nijhof,  tetapi  kemudian
pihak asuransi menuntut ganti kerugian kepada Nona de Vries
atas dasar perbuatan melawan hukum. Nona de Vries menolak
pendirian  bahwa  dia  telah  melakukan  perbuatan  melawan
hukum.
Gugatan tersebut ditolak di tingkat kasasi, karena Hoge
Raad berpendirian sikap pasif Nona de Vries bukan merupakan
pelanggaran  terhadap  hak  subjektif  Nijhof,  dan  bukan  pula
sebagai  perbuatan  melanggar  undang-undang/  melawan
hukum.  Putusan  ini  juga  sering  disebut  sebagai  Zutphense
Juffrouw Arrest.
20

Perkembangan  yang  spektakuler  dan  monumental
terhadap pengertian „perbuatan melawan hukum terjadi pada
                                                
19
 Moegni Djojodirdjo: op cit, hal. 20; Setiawan, op cit, 1977, hal. 75.;
Rachmat Setiawan: op cit, hal.8 – 9.
20
 Setiawan: Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata,cet. I,
1992, Alumni, Bandung, hal. 248; Moegni Djojodirdjo,  op  cit, hal.20. Mahkamah
Agung  R.I.:  Rangkuman  Sidang  Paripurna  Penemuan  Hukum  dan
Pemecahan Masalah Hukum; 1995, hal.20 H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi  13
tahun 1919 dengan Putusan Hoge Raad dalam kasus  Linden-
baum  lawan  Cohen  pada  tanggal  31  Januari  1919,  yang
terkenal dengan nama Standaard Arrest atau Drukkers Arrest
(Putusan tentang Percetakan) , sebagai berikut.
Samuel  Cohen  dan  Max  Lindenbaum  masing-masing
pengusaha  percetakan. Pada  suatu  ketika,  Cohen membujuk
salah  seorang  pegawai  Lindenbaum  untuk  membocorkan
daftar nama pelanggan  Lindenbaum dan  daftar harga-harga,
dan menggunakan daftar  tersebut untuk kemajuan usahanya
sendiri. Akibatnya usaha Lindenbaum mundur dan mengalami
kerugian.
Kecurangan ini akhirnya diketahui Lindenbaum  dan dia
menuntut  ganti  rugi  kepada  Cohen  atas  dasar  perbuatan
melawan  hukum. Akan  tetapi Cohen membantah gugatan  itu
atas  dasar  pendapat  bahwa  dia  tidak  melakukan  perbuatan
melawan hukum karena undang-undang tidak melarangnya.
Pengadilan tingkat pertama  (Rechtbank) memenangkan
gugatan Lindenbaum, tetapi di tingkat banding dia dikalahkan
oleh Pengadilan Tinggi (Gerechtshof). Ditingkat kasasi kembali
Lindenbaum  dimenangkan  oleh  Hoge  Raad  dengan  alasan
bahwa  pengadilan  tinggi  telah  menafsirkan  pengertian  per-
buatan melawan hukum dalam arti yang sempit, yakni hanya
sekedar melawan undang-undang. Sedangkan  menurut Hoge
Raad,  pengertian  perbuatan  melawan  hukum  (onrecht-
matigedaad) harus diartikan  sebagai  berbuat atau  tidak ber-
buat  yang  memperkosa  hak  orang  lain,  atau  bertentangan
dengan  kewajiban  hukum  si  pembuat, atau  kesusilaan, atau
kepatutan  dalam masyarakat,  baik  terhadap  diri atau  benda
orang lain.
21

                                                
21
  Setiawan:  Pokok-Pokok  Hukum  Perikatan,  op  cit,  hal.  77-  78.; 
Moegni Djojo-dirdjo, op cit, hal.25- 26.; Rachmad Setiawan: op cit, hal. 10- 11.;
Mahkamah Agung R.I.: op cit; 1995, hal.21 H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi  14
Putusan  Hoge  Raad  ini merupakan momentum  terpen-
ting dalam sejarah perkembangan BW sejak berlakunya pada
tahun  1883,  sehingga  oleh  Meijers  putusan  tersebut  dinilai
sama bobotnya dengan menambahkan satu Buku pada BW22
.
Unsur-Unsur  PMH.  Berdasarkan  perkembangan  pe-
ngertian tentang  perbuatan melawan hukum  (PMH=  onrecht-
matigedaad), di atas,  maka terdapat empat kriteria dari per-
buatan melawan hukum itu, yakni :
(a)  bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
(b)  melanggar hak subjektif orang lain.
(c)  Melanggar kaidah kesusilaan
(d)  Bertentangan  dengan  asas  kepatutan,  ketelitian,
serta kehati-hatian (pa-ti-ha).
23


Kriteria pertama di atas menentukan bahwa perbuatan
melawan hukum itu adalah perbuatan yang bertentangan de-
ngan kewajiban si pelaku. Tetapi tidak semua perbuatan yang
bertentangan dengan kewajiban si pelaku dapat dituntut ganti
kerugian. Untuk dapat dituntut ganti kerugian, disyaratkan:
(a).  kepentingan  penggugat  benar-benar  terkena/  teran-
cam oleh pelanggaran (PMH) tersebut. Seseorang yang
menerobos lampu merah, dia telah melakukan pelang-
garan  undang  -  undang  secara  pidana,  tetapi  belum
dapat disebut melakukan PMH  secara perdata  selama
tidak ada orang yang dirugikan secara materiel. 
(b).  ke dua:  kepentingan   penggugat   memang dilindungi
oleh  kaidah  /  peraturan  perundang-undangan  yang
dilanggar itu (schutz-norm theorie). 
Untuk memahami  ini,  perhatikan  putusan  Hoge  Raad
yang  terkenal  dengan  nama  Tandartsen  Arrest
                                                
22
 Setiawan: Ibid, hal. 247.
23
 Setiawan: Ibid,, hal. 251
 H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi  15
(Putusan doker gigi)  tanggal 17  Januari 1958  sebagai
berikut:
Di kota Tilburg, Belanda, pada waktu itu ada 15 orang
dokter gigi yang berpraktek di suatu jalan dengan izin
resmi pemerintah.   Pada suatu waktu datang berprak-
tek  di  jalan  tersebut,  seorang  tukang  gigi  yang  ber-
praktek  sebagai  dokter  gigi  tanpa  izin  resmi.  Praktek
tukang  gigi  ini  laris  yang  mengakibatkan  praktek
dokter gigi resmi menjadi sepi. Ketika ketahuan bahwa
tukang  gigi  ini  berpraktek  tanpa  izin,  maka  dia
diadukan secara pidana dan digugat secara perdata. 
Berdasar  Pasal  436  NWvS  (Pasal  512  KUHP)  tukang
gigi tersebut dipidana karena terbukti bersalah menja-
lankan  pekerjaan  tanpa  izin  yang menurut  peraturan
perundang-undangan  harus  pakai  izin.  Bagaimana
dengan gugatan ganti  rugi yang diajukan para dokter
gigi  itu?.    Pengadilan  Tinggi menghukum  tukang  gigi
itu  untuk mengganti  kerugian  karena  dianggap  telah
melakukan  perbuatan  melawan  hukum  dengan
pelanggaran  terhadap  Pasal  436  NWvS  (Pasal  512
KUHP)  di  atas.  Namun  putusan  ini  dibatalkan  oleh
Mahkamah Agung  (Hoge Raad) dengan alasan bahwa
peraturan  yang  dilanggar  oleh  tukang  gigi  tersebut
(Pasal  512  KUHP)  diadakan  dengan  tujuan  untuk
melindungi kesehatan masyarakat umum, bukan untuk
melindungi    para  dokter  gigi  tersebut  terhadap  per-
saingan  curang.  Seorang  dokter  gigi  yang  menurun
jumlah  pasiennya  karena  praktek  tak  berizin  dari  si
tukang gigi tersebut, tidak dapat mengajukan tuntutan
ganti rugi atas dasar perlindungan  yang diberikan oleh
Pasal 512 KUHP di atas. H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi  16
(c).  kepentingan  tersebut  masuk  dalam  lingkup  kepen-
tingan yang dimaksud untuk dilndungi oleh ketentuan
Pasal 1365 KUHPdt. tersebut;
(d).  pelanggaran  kaidah  tersebut  bertentangan  dengan
kepatutan  terhadap penggugat dengan  juga memper-
hatikan sikap dan kelakuan si penggugat itu sendiri;
(e).  tidak  ada  alasan  pembenar  maupun  alasan  pemaaf
menurut hukum.
24

Selanjutnya, mengenai  hak  subjektif  orang  lain,  ber-
dasar yurisprudensi mencakup:
(a).  hak-hak  kebendaan  serta  hak-hak  absolute  lainnya
seperti  hak  eigendom  (hak  milik),  erfpacht  (hak  guna
usaha), hak oktroi (hak yang diberikan atas permohonan
kepada  seseorang  yang  menemukan  sesuatu/  hal  yang
baru), dan sebagainya.
(b). hak-hak pribadi (hak integritas pribadi dan integritas ba-
daniah, kehormatan serta nama baik, dsb.).
(c).  hak-hak  khusus,  seperti  hak  penghunian  yang  dimiliki
seorang penyewa.

Kriteria ke tiga dari PMH adalah pelanggaran terhadap
kaidah  kesusilaan,  yakni  kaidah-kaidah  moral  sejauh  yang
diterima oleh masyarakat sebagai kaidah hukum tidak tertulis
(perhatikan kasus Lindenbaum versus Cohen di atas).
Kriteria  ke  empat  juga  diambil  dari  kaidah  tidak
tertulis,  suatu  perbuatan  atau  tidak  berbuat  digolongkan
kepada perbuatan melawan hukum jika bertentangan dengan
kepatutan,  ketelitian  serta  sikap  hati-hati  yang  seharusnya
dimiliki seseorang dalam pergaulannya dengan sesama warga
masyarakat atau terhadap barang milik orang lain.
                                                 
24
 Setiawan: Ibid, hal. 253
 H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi  17
Untuk  memahami  kriteria  ke  empat  ini,  marilah
diperhatikan kasus sebagai berikut. Pada suatu hari tanggal 6
Juni  1975,  de  Rijk  seorang  petugas  pemungut  sampah
Kotamadya  Kamerik,  Belanda,  seperti  biasa  mengumpulkan
kantong-kantong  sampah  dari  pinggir-pinggir  jalan  dan
melemparkannya ke atas truk yang dikemudikan oleh teman-
nya.  Malang  baginya  ketika  mesin  pengepres  di  atas  truk
bekerja, dari salah satu kantong sampah tersebut menyembur
cairan yang mengenai matanya yang mengakibatkannya buta
sebelah. Ternyata dalam salah satu kantong sampah tersebut
ada  ember  plastik  kecil  berisi  cairan  natroonlog,  sejenis  zat
kimia untuk pembersih yang berbahaya bagi mata manusia. 
Hasil  penyelidikan  menemukan  bahwa  ember  cairan
ter-sebut  berasal  kantor  Balaikota  yang  sehari  sebelumnya
mela-kukan pembersihan. Petugas kebersihan kantor tersebut
mene-mukan  sebuah  ember  plastik  kecil  berisi  cairan  yang
telah berada disana kurang lebih dua tahun dan tidak pernah
dipergunakan. Petugas kebersihan tersebut menyangka ember
tersebut  berisi  soda  dan  meminta  izin  kepada  pengawas  di
balaikota tersebut untuk membuangnya. Pengawas itu mem-
beri  izin. Pengawas  tersebut baru bekerja di kantor  itu sejak
November  1974,  dan  juga  tidak  tahu  apa  isi  ember  plastik
tersebut.  Petugas  kebersihan  setelah  memperoleh  izin,
memasukkan  ember  tersebut  ke  kantong  sampah  dan
meletakkannya di halaman kantor seperti biasanya. 
Dalam  persidangan,  Hoge  raad  menyatakan  petugas
keber-sihan  dan  pengawas  kantor  Balaikota  tersebut  telah
melakukan  perbuatan  melawan  hukum  karena  tindakannya
dianggap  berten-tangan  dengan  kepatutan,  ketelitian  dan
kehati-hatian.
25

                                                
25
 Setiawan; Aneka masalah…; op cit, hal. 267- 268. H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi  18

Berdasarkan  uraian  di  atas,  dan  bunyi  Pasal  1365
KUHPdt.  maka  suatu  tuntutan  ganti  rugi  akibat  perbuatan
melawan hukum (PMH= onrechtmatigedaad), haruslah meme-
nuhi unsur- unsur sebagai berikut:
(1)  adanya perbuatan melawan hukum
(2)  harus ada kerugian yang ditimbulkan
(3)  harus ada hubungan kausalitas (sebab akibat) antara
perbuatan melawan hukum dan kerugian.
(4)  harus ada kesalahan
(5)  Schutznorm.
26


Alasan  Pembenar  (Rechtvaardigingsgronden).
Seperti juga dalam tindakan pidana, meskipun terbukti mela-
kukan  perbuatan  melawan  hukum  (PMH)  seseorang  tidak
dapat dituntut  jika ada alasan yang membenarkan  tindakan-
nya.  Alasan  pembenar  yang  menghilangkan  sifat  melawan
hukum dari perbuatan itu, yakni: 
(1)  Keadaan  memaksa  (overmacht)  (Pasal  1245
KUHPdt.).
(2)  Pembelaan terpaksa (noodweer)
(3)  Melaksanakan undang- undang;
(4)  Perintah atasan.
27

Alasan Pemaaf (Schulduitsluitingsgronden). 
Adalah hal-hal yang menghilangkan sifat bersalah dari
pelaku,  sehingga  pelaku  tidak  dapat  dapat  dimintai  per-
tanggung-jawaban. Alasan pembenar di atas juga dapat men-
jadi alasan pemaaf.
                                                
26
Setiawan:  Pokok-Pokok  Hukum  Perikatan,  op  cit,  hal.  73; 
Mahkamah Agung R.I.: op cit; 1995, hal.21
27
 Rachmat Setiawan, op cit, hal. 15- 17 H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi  19
Perbuatan  Melawan  Hukum  oleh  Badan  Hukum.
Praktek  peradilan    menerima  bahwa  badan  hukum  (recht-
persoon)  dapat  melakukan  perbuatan  melawan  hukum  (on-
rechtmatigedaad)  oleh  karenanya  dapat  dimintai  pertang-
gungjawaban berdasar  Pasal  1365  KUHPdt.  Dalam  berbuat  ,
tindakan  badan  hukum  dilakukan  oleh  orang-orangnya  atau
organnya.  Tetapi  tidak  semua  tindakan  orang  dari  badan
hukum  tersebut  merupakan  tindakan  badan  hukum,  ber-
gantung pada bentuk hubungan antara orang tersebut dengan
badan hukum itu28

Secara  singkat,  pertanggungjawaban  tersebut  dapat
dirinci sebagai berikut:
(1)  Untuk  perbuatan  melawan  hukum  yang  dilakukan
oleh  organ  badan  hukum,  pertanggungjawabannya
didasarkan pada Pasal 1365 KUHPdt.
(2)  Untuk  perbuatan  melawan  hukum  yang  dilakukan
oleh  seorang  wakil  dari  badan  hukum  yang  mem-
punyai  hubungan  kerja  dengan  badan  hukum  itu,
dapat  dipertanggungjawabkan  berdasar  Pasal  1367
KUHPdt.
(3)  Untuk  perbuatan  melawan  hukum  yang  dilakukan
oleh  organ  yang memunyai  hubungan  kerja  dengan
badan  hukum,  untuk  pertanggungjawabannya  dapat
dipilih Pasal 1365 atau Pasal 1367 di atas.
29

Wanprestasi (hasil yang buruk= breach of contract).
Sebagaimana  telah  disebutkan  bahwa  salah  satu
sumber  terjadinya perikatan adalah adanya persetujuan atau
perjanjian.  Prestasi  yang  diharapkan  dalam  suatu  perjanjian
                                                
28
 Setiawan: Pokok-Pokok Hukum Perikatan, op cit, hal. 86
29
 Setiawan: Pokok-Pokok Hukum Perikatan, op cit, hal. 87 H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi  20
sebagaimana  telah  disebutkan  (Pasal  1234  KUHPdt)  dapat
berbentuk: 
(1)  tindakan memberikan  sesuatu  (misalnya penyerahan hak
milik dalam jual beli, sewa menyewa dll), 
(2)  melakukan  suatu  perbuatan    (misalnya  melaksanakan
peker-jaan tertentu, dll) atau 
(3) untuk tidak berbuat (misal: tidak akan membangun suatu
bangunan pada suatu bidang tanah tertentu, dll.).

Pasal  1234  KUHPdt.:  Tiap-  tiap  perikatan  adalah  untuk  :  mem-
berikan  sesuatu,  untuk  berbuat  sesuatu,  atau  untuk  tidak  berbuat
sesuatu
Pasal 1313 KUHPdt.: Suatu persetujuan (perjanjian) adalah suatu
perbuatan  dengan  mana  satu  orang  atau  lebih  mengikatkan  dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih. 
Pasal 1320 KUHPdt.:Untuk sahnya persetujuan-persetujuan (per-
janjian- perjanjian) diperlukan empat syarat: 
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;  
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu hal tertentu; 
4. Suatu sebab yang halal. 
Pasal1321 KHPdt: Tiada suatu kesepakatan yang sah apabila ke-
sepakatan  itu  diberikan  karena  kekhilafan,atau  diperolehnya  dengan
paksaan atau penipuan. 

Pasal  1313  KUHPdt.  menyatakan  bahwa  perjanjian
adalah suatu perbuatan dimana  satu orang atau lebih meng-
ikatkan  dirinya  terhadap  satu  orang  atau  lebih.  Sedangkan
tentang  syarat  sahnya  suatu  perjanjian  diatur  dalam  Pasal 
1320 KHPdt. yaitu:
1).    Adanya  kesepakatan.  Untuk  adanya  kesepakatan  diper-
lukan  kemauan  yang  bebas.  Dalam  Pasal  1321  KUHPdt.
dinyatakan  bahwa  suatu  perjanjian  tidak  mempunyai
kekuatan  mengikat  jika  terkandung  di  dalamnya  kekhi-
lafan (dwaling), paksaan (dwang) dan penipuan (bedrog).
Dalam  hal  ini  berlaku  asas  kebebasan  berkontrak  (
beginsel der  contractsvrijheid)  yang  diserap dalam  Pasal
1338 KUHPdt.  H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi  21
2).  Kecakapan  bertindak.  Artinya  keduabelah  pihak  yang
melakukan  pernjanjian  haruslah  orang  yang  menurut
hukum dipandang  cakap  untuk bertindak  sendiri. Dalam
Pasal 1130 KUHPdt. disebutkan orang-orang yang dipan-
dang  tidak  cakap  bertindak  hukum,  adalah:  orang  di
bawah  umur  (minderjarig),  orang  yang  dibawah  peng-
awasan (curatele) dan perempuan yang telah kawin30
.
3).  Atas  suatu  hal  tertentu.  Artinya,  apa  yang  diperjanjikan
haruslah  dinyatakan  dengan  cukup  jelas  atau  tertentu.
Hal ini diperlukan untuk menetapkan kewajiban yang ber-
hutang jika terjadi perselisihan.
4).    Sebab  (kausa=  tujuan=  oorzaak)  yang  halal.  Menurut
Subekti,  berdasarkan  riwayat,  yang  dimaksud  dengan
kausa  atau  sebab  yang  dimaksudkan  disini  adalah
„tujuan’  dari  perjanjian  itu  sendiri.  Yakni  apa  yang
dikehendaki oleh kedua belah pihak dengan mengadakan
perjanjian itu sendiri
31
. Pasal 1335 KUHPdt. menyebutkan
bahwa  suatu  perjanjian  yang  tidak  mempunyai  kausa
atau  dibuat  dengan  suatu  kausa  yang  palsu  atau
terlarang tidak mempunyai kekuatan hukum. Kausa yang
tidak  diperbolehkan  (tidak  halal)  adalah  kausa  yang
bertentangan  dengan  undang-undang,  kesusilaan,  atau
ketertiban umum.
Selanjutnya, apabila  suatu  perjanjian  tidak  terpenuhi,
maka terjadilah apa yang disebut wanprestasi . Wanprestasi
adalah  pelaksanaan  perjanjian  yang  tidak  tepat  waktunya
atau  dilakukan  tidak  menurut  selayaknya  atau  tidak  dilak-
sanakan sama sekali.
32
 
                                                 
30
 Ketentuan  tentang perempuan yang  telah nikah dianggap  tidak
cakap bertindak (khusus bagi mereka yang tunduk pada BW), telah hapus
dengan  lahirnya UU.No. 1 Tahun 1974. 
31
 Subekti, Pokok, op cite, hal.136-137.
32
 Yahya Harahap: op cit., hal. 60. H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi  22
Dengan demikian wanprestasi dapat berbentuk:
a.  debitur  tidak  memenuhi  prestasi  pada  waktunya  (ter-
lambat);
b.  debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali;
c.  debitur  memenuhi  prestasi  dengan  tidak  baik  (tidak
sesuai dengan yang diperjanjikan.
33

Apabila  debitur  melakukan  wanprestasi,  maka  dia
dapat dituntut untuk:
1)  pemenuhan perjanjian;
2)  pemenuhan perjanian ditambah ganti rugi;
3)  ganti rugi
4)  pembatalan perjanjian timbal balik;
5)  pembatalan dengan ganti rugi.
34


Kewajiban membayar  ganti  rugi  (schade  vergoeding)
tersebut  tidak  timbul  seketika  terjadi  kelalaian,  melainkan
baru efektif setelah debitur dinyatakan lalai  (ingebrekestelling)
dan  tetap  tidak  melaksanakan  prestasinya.  Hal  ini  diatur
dalam Pasal 1243 KHPdt. 
Sedangkan  bentuk  pernyataan  lalai  tersebut  diatur
dalam Pasal 1238 KUHPdt. yang pada pokoknya menyatakan:
a.  Pernyataan  lalai  tersebut  harus  berbentuk  surat  perintah
atau akta lain yang sejenis  , yaitu  suatu salinan daripada
tulisan  yang  telah  dibuat  lebih  dahulu oleh  juru  sita  dan
diberikan kepada yang bersangkutan.
b.  Berdasarkan kekuatan perjanjian itu sendiri.
c.  Jika  tegoran  kelalaian  sudah  dilakukan  barulah menyusul
peringatan atau aanmaning yang biasa disebut sommasi. 
                                                
33
 Setiawan: Pokok-Pokok Hukum Perikatan, op cit, hal. 13, 15.
34
 Setiawan: Ibid,  hal. 14. H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi  23
Somasi adalah peringatan agar debitur melaksanakan ke-
wajibannya  sesuai  dengan  tegoran  kelalaian  yang  telah
disampaikan  kreditur  kepadanya.  Dalam  somasi  tersebut
kreditur menyatakan kehendaknya bahwa perjanjian harus
dilaksanakan dalam batas waktu yang tertentu.
35


Selanjutnya,  dalam  Pasal  1246  KUHPdt.  diatur  ganti
rugi  apa  saja  yang  dapat  diminta  kreditur  atas  dasar
wanprestasi tersebut; yakni:
(a)  Ongkos (biaya)
(b)  kerugian nyata yang diderita kreditur;
(c)  keuntungan yang seharusnya akan diperoleh.

Pasal  1246  KUHPdt.:  Biaya,  kerugian  dan  bunga  yang  boleh  dituntut
penggantiannya oleh orang yang punya pihutang, pada umumnya  ter-
diri  atas  kerugian  yang  dideritanya  dan  keuntungan  yang  sedianya
harus  dapat  dinikmatinya,  dengan  tidak  mengurangi  pengecualian-
pengecualian serta perubahan-perubahan yang disebut di bawah ini

Yang  dimaksud  dengan  ganti  rugi  adalah  ganti  dari
kerugian    yang  nyata  yang  diakibatkan  langsung  oleh  wan-
prestasi  berupa  ongkos  (kosten),  kerugian  (schaden)  dan
bunga (interessen) (lihat Pasal 1246 dan Pasal 1248 KUHPdt).
Ganti  rugi  yang  dapat  dituntut  adalah  kerugian  berupa
sejumlah uang, dan bentuk ganti ruginya haruslah berbentuk
sejumlah uang, tidak bisa lain.
36

Menurut Yahya Harahap, kerugian yang  tidak bersifat
ekonomis, juga dapat dituntut dalam bentuk biaya pemulihan
berupa biaya pengobatan dan sejumlah uang bayaran  sesuai
dengan  cacat  yang  diderita,  yang  jumlah  besarannya  diukur
berdasarkan kedudukan dan kemampuan kedua belah fihak.
37

                                                
35
 Yahya Harahap: op cit., hal. 62. Setiawan: Ibid, hal. 15-17.
36
 Yahya Harahap: Ibid, hal. 66 - 67
37
 Yahya Harahap: Ibid, hal. 68 H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi  24
Selanjutnya, disyaratkan kerugian yang dapat dituntut
haruslah  kerugian  yang  menjadi  akibat  langsung  dari  wan-
prestasi. Artinya antara kerugian dan wanprestasi harus ada
hubungan  sebab  akibat.  Dalam  hal  ini  kreditur  harus  dapat
membuktikan:
a.  besarnya kerugian yang dialami;
b.  bahwa  faktor  penyebab  kerugian  tersebut  adalah
wanprestasi karena kelalaian krediur, bukan karena faktor
diluar kemampuan debitur.
38
 

Apabila objek perjanjian berupa pembayaran sejumlah
uang, maka kerugian yang dapat dituntut  akibat wanprestasi
adalah  bunga  menurut  undang-undang    (moratorium  inte-
resse) sebagaimana disebut dalam Pasal 1250 KUHPdt., yang
besarnya  berdasarkan  Stb.  1848  n0.  22  jo.  1849  No.  63
sebesar 6 persen per  tahun; dan dalam hal ini kreditur  tidak
perlu/ tidak dibebani kewajiban pembuktian. Cukup jika debi-
tur  telah  nyata  terlambat membayar, kreditur dapat menun-
tut ganti rugi berupa bunga.
39


Pasal 1250 KUHPdt.
Dalam  tiap-tiap  perikatan  yang  semata-mata  berkaitan  dengan
pembayaran sejumlah  uang  , penggantian biaya,  kerugian dan bunga
sekedar  disebabkan    karena  keterlamabatan  pelaksanaannya,  hanya
terdiri  atas  bunga  yang  ditentukan  undang-undang  dengan  tidak
mengurangi peraturan perundangan yang khusus. 

Hapusnya perikatan. 
Dalam  Bab  Keempat  Pasal  1381  KUHPdt.  disebutkan  bahwa
suatu perikatan itu hapus karena:
a). pembayaran
b). penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penyim-
panan atau penitipan (konsignasi).
                                                
38
 Yahya Harahap: Ibid, hal. 71
39
 Yahya Harahap: Ibid, hal. 65- 74 H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi  25
c). pembaharuan hutang (novasi).
d). perjumpaan hutang atau kompensasi. Kompensasi terjadi
jika  dua  orang  saling  bertemu  masing-masing  sebagai
debitur satu terhadap yang lain, sehingga keduanya saling
melunasi.  Manfaat  kompensasi  adalah  untuk  peyederha-
naan  pembayaran,  serta  kepastian  pembayaran  dalam
keadaan salah seorang debitur pailit.
40

e).  percampuran  hutang  (konfusio),  yakni  bercampur  atau
bertemunya  kreditur  dan  debitur  pada  diri  satu  orang,
sehingga  karenanya  semua  tagihan  secara  yuridis
terhapus  (Pasal  1436  KUHPdt.).  Konfusio  terjadi  karena
kewarisan  (debitur  menjadi  ahli  waris  kreditur),  karena
hibah wasiat (legataris)
, atau karena persetujuan jual beli
antara pewaris dengan ahli waris.
41

Pasal 1436 KUHPdt.).: 
Apabila  kedudukan-kedudukan  sebagai  orang  yang  berpihutang  dan
orang  yang  berhutang  berkumpul  pada  satu  orang,  maka  terjadilah
demi  hukum  suatu  percampuran  hutang,  dengan  mana  pihutang 
dihapuskan.   

f).    penghapusan/pembebasan  hutang;  yakni  tindakan  (han-
deling)  kreditur  yang  membebaskan  kewajiban  debitur
untuk memenuhi pelaksanaan perjanjian42

g).  lenyapnya  barang  yang  menjadi  hutang,  seperti   diatur
lebih lanjut dalam Pasal 1444 dan 1445 KUHPdt. :
Pasal  1444  KUHPdt,:  Jika  barang  tertentu  yang  menjadi  bahan
(objek)  persetujuan,  musnah,  tak  lagi  dapat  diperdagangkan,  atau
hilang,  sedemikian  sehingga  sama  sekali  tidak  diketahui  apakah
barang  itu masih ada,  maka hapuslah perikatannya, asalkan barang
itu musnah atau hilang  di  luar salahnya si berhutang (debitur)  dan
sebelum dia dianggap lalai menyerahkannya. 
Bahkan meskipn si berhutang   (debitur) lalai menyerahkan sesu-
atu  barang  sedangkan  ia  tidak  telah  menanggung  terhadap  keja-
dian-kejadian  yang  tak  terduga,   perikatan  menjadi  hapus  jika
                                                
40
 Yahya Harahap; Ibid; hal. 150.
41
 Yahya Harahap; Ibid; hal. 157.
42
 Yahya Harahap; Ibid; hal. 159.. H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi  26
barangnya  akan  musnah  secara  yang  sama  ditangan  si  empunya
pihutang  (kreditur),  seandainya  sudah  diserahkan  kepadanya.  Si
berhutang  (debitur)  diwajibkan  membuktikan  kejadian  tak  terduga
yang diajukannya itu. 
Dengan  cara  bagaimanapun  suatu  barang  yang  telah  dicuri,
musnah  atau  hilang,  maka  hilangnya  barang  tersebut  tidak  sekali-
kali  membebaskan  orang  yang  mencuri  barang  tersebut  dari
kewajibannya mengganti harganya. 

Pasal  1445  KUHPdt.:  Jika  barang  yang  terhutang  musnah,  tak  lagi
dapat  diperdagangkan,  atau  hilang,  diluar  salahnya  si  berhutang
(debitur), maka si berhutang (debitur)  jika dia mempunyai hak-hak
atau  tuntutan-tuntuan gati  rugi mengenai barang  tersebut, diwajib-
kan  memberikan  hak-hak  dan  tuntutan-tuntutan  itu  kepada  orang
yang menghutangkan padanya (kreditur) 

Berdasar ketentuan di atas, maka lenyapnya barang yang
menjadi  objek  hutang  baru  dapat  menghapuskan  peri-
katan, apabila sesuai ketentuan Pasal 1444 di atas, yakni:
-  musah atau  lenyapnya barang bukan karena kesalahan
debitur melainkan karena suatu sebab diluar kekuasaan
debitur  (overmacht).
-  Kemusnahan  terjadi  sebelum  jatuh  tempo,  jika  sudah
jatuh tempo, maka ini menjadi masalah wan-prestasi.
-  Menyimpang  dari  hal  tersebut  ialah  jika  seandainya
barang itu sudah diserahkan juga akan lenyap/ musnah/
rusak karena hal yang sama.
-  Debitur berkewajiban membuktikan  sebab  kemusnahan
barang tersebut.
-  Jika barang itu musnah ditangan pencuri, maka pencuri
tetap berkewajiban mengganti harga barang tersebut.
-  Jika atas barang  yang hilang/musnah melekat hak-hak
dan tuntutan-tuntutan ganti rugi (tagihan asuransi),ma-
ka  debitur  berkewajiban  menyerahkan  hak-hak  dan
tuntutan- tuntutan ganti rugi tersebut kepada kreditur
43

h). Hapusnya perjanjian karena lampau waktu (verjaring).

Perbedaan PMH dan Wanprestasi. 
                                                
43
 Yahya Harahap; Ibid; hal. 164- 167.. H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi  27
(1). PMH lahir dari perikatan karena undang-undang, sedang-
kan wanprestasi lahir dari perikatan karena perjanjian.
(2). Akibat akhir dari PMH adalah pemulihan keadaan  seperti
semula dan ganti rugi, sedangkan akibat akhir dari wan-
prestasi adalah pelaksanaan prestasi dan ganti rugi.
(3).  Bentuk  PMH  adalah  perbuatan  melawan  kewajiban  hu-
kumnya,  atau melanggar  hak  subjektif  orang  lain,  atau 
melanggar  kesusilaan  atau melanggar  kepatutan,  keteli-
tian,  dan  kehati-hatian.  Sedangkan  bentuk  wanprestasi
adalah keterlambatan,  tidak  sesuai dengan isi perjanjian
atau tidak melaksanakan perjanjian.
Penutup
Demikianlah  uraian  dasar  dari  pengertian  perbuatan
melawan hukum dan wanprestasi, yang diakui masih banyak
kekurangannya. Namun dengan uraian yang masih elementer
ini, diharapkan dapat merangsang para hakim untuk mempe-
lajarinya  lebih mendalam,  sebagai persiapan memahami dan
mengadili sengketa di bidang ekonomi syariah. Semoga. 
◊◊◊











 H.A.Mukhsin Asyrof : Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi  28
DAFTAR RUJUKAN


Mahkamah  Agung  R.I:    Rangkuman  Sidang  Paripurna
Pene-muan  Hukum  dan  Pemecahan  masalah
Hukum, 1995, MARI, Jakarta.

Moegni  Djojodirdjo,  Perbuatan  Melawan  Hukum,  cet.  II.,
1982, Pradnya Paramita, Jakarta.

Paul  Scholten, Mr.C.Accer,  Penuntun  dalam Mempelajari
Hukum  Perdata  Belanda,  Bagian  Umum,  1992,
Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Rachmat  Setiawan,  Tinjauan  Elementer  Perbuatan
Melawan Hukum,  cet. I, 1991, Binacipta, Bandung.

Setiawan,  Aneka  Masalah  Hukum  dan  Hukum  Acara
Perdata, cet. I, 1992, Alumni, Bandung.

Setiawan,  Pokok-Pokok  Hukum  Perikatan,  cet.  I,  1977,
Bina-cipta, Bandung.

Soedaryo  Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
cet. I, 1996, Sinar Grafika, Jakarta.

Sri Soedewi, Hukum Perdata: Huku Benda, cet. Ke 4, 1981
Liberty, Ygyakarta.

Subekti, Pokok- PokokHukum  Perdata,  cet.  ke  -31  ,2003,
PT. Intermasa, Jakarta. 

Subekti  dan  Tjitrosudibio,  Kitab  Undang-Undang  Hukum
Per-data,  cet.  Ke  23,    1990,  Pradnya  Paramita,
Jakarta.

Yahya  Harahap,  Segi-  Segi  Hukum  Perjanjian,  cet.  II,
1986, Alumni, Bandung.

Vollmar,  Pengantar  Studi  Hukum  Perdata,  jilid  II,  cet.  I,
1984, Rajawali, Jakarta.

◊◊◊